Ketika mandi sore ini, pikiran pikiran tentang tema apa yang akan saya angkat untuk thesis Pascasarjana saya mulai bermunculan. Mulai dari tema sepakbola sebagai budaya hingga pendidikan yang aku mencurigai adanya praktek "perbudakan" yang hadir disana. Entah mengapa kamar mandi buat saya pribadi adalah tempat inspirasi. Mulai dari kegiatan "nongkrong" tiap pagi dan mandi sore.
Tetapi pikiran saya lebih tertarik pada pengalaman pribadi sebagai guru. Selama dua tahun menjadi guru, saya gelisah. Gelisah dan was was karena secara ekonomi harus saya katakan ini adalah "pengabdian". Pekerjaan sukarela. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa guru hanya pekerjaan sukarela bagi mereka yang rela hidupnya dililit tekanan dan kebutuhan ekonomi. Saya amat sangat berharap bahwa pernyataan yang tadi saya berikan adalah sepenuhnya salah.
Di sisi lain pula, pendidikan di Indonesia khususnya hanya mengabdi pada kepentingan ekonomi semata. Saya yakin seyakin yakinnya bahwa pendidikan di Indonesia dipakai untuk mengangkat status secara ekonomi. Bukan semata mata membebaskan diri dari pikiran pikiran sempit. Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan beberapa jurusan favorit yang tentunya menunjang beberapa pilihan karir yang menjamin kehidupan finansial para siswa kelak di kemudian hari. Pikiran pikiran siswa digiring kepada pola pikir yang hanya menguntungkan kantong.
Lantas saya pun gelisah karena pendidikan tak lagi menjadi jalan untuk membentuk hidup seseorang, melainkan sudah menjelma menjadi sistem perbudakan. Begini penjelasannya. Menurut saya, pendidikan seharusnya menjadikan orang untuk semakin "bernafsu" dalam mencari dan membentuk pola pikir pribadi atau dalam hal ini para murid. Akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah murid menjadi objek bagi pola pikir guru. Mereka tidak mendapatkan ruang sama sekali untuk berargumen secara pribadi. Mereka dituntut untuk mendapatkan nilai yang baik dalam ujian sekolah ataupun Nasional. Yang lebih kejam lagi, murid dipacu dan dipaksa belajar hal hal yang mungkin tidak mereka minati untuk memacu kualitas sekolah. Tak jarang pula, sekolah melakukan "sistem kebut" untuk mengejar target rata rata ujian Nasional ataupun ujian sekolah demi menyelamatkan prestise sekolah dan melanggengkan sekolah itu sendiri. Lantas guru guru pula berlomba lomba untuk mengupayakan muridnya memasukkan dan menyerap bahan sebanyak mungkin untuk menghadapi ujian nasional yang notabene adalah perwujudan prestise sekolah.
Sistem dan pola pola pengajaran macam ini yang saya kritik dan saya sebut sebagai perbudakan. Belajar bukan lagi sebagai perwujudan manusia untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi sarana bagi pihak tertentu sebagai alat pendongkrak baik itu status sosial, status ekonomi ataupun bisnis belaka. Saya masih berkeyakinan bahwa DNA pola pendidikan Indonesia adalah lahir dari seorang yang sederhana, yang kita sebut dengan Ki hadjar Dewantara. Beliau sendiri menanggalkan status bangsawannya untuk menjadi seorang guru. Dan inilah kunci bagi kita semua untuk memahami pola pendidikan yang sudah diperjuangkan bertahun tahun yang lalu. Sebuah cara yang lahir untuk membebaskan manusia manusia Indonesia.
Akhir kata, saya amat sangat menyayangkan apabila kita, baik sebagai guru maupun sebagai murid atau pelajar mulai membebaskan diri dari belenggu belenggu tadi. Mulai belajar untuk keluhuran diri dan tidak semata untuk kepentingan ekonomi.