Entah karena alasan apa nampaknya saya ingin pula berkomentar dan adu argumentasi dengan apa yang terjadi pada "kasus" Tere Liye. Banyak yang bisa dilihat dari penulis yang akhir akhir ini sedang banyak diperbincangkan. Gunjingan yang paling terakhir adalah kritik pedas Tere Liye terhadap kutipan kutipan yang dijadikan caption pada medsos yang tentunya bersumber dari tulisannya bang Tere Liye. Menurut pikiran saya ada beberapa hal yang perlu dilihat dari kejadian ini.
Yang pertama adalah tentang munculnya kritik ini. Saya hanya menduga bahwa Tere Liye sedang mencoba menarik kembali perhatian publik. Saya tetap berpegang teguh pada kritik yang muncul adalah selalu berbau politis. Maka saya bisa mengatakan bahwa apa yang dilontarkan oleh Tere Liye kepada "fans" adalah semata demi kepentingan perut. Kalau boleh jujur, Tere Liye adalah salah satu penulis yang sampai sekarang bukunya tidak pernah saya baca sama sekali. Karena di dalam kepala saya muncul pertanyaan "bagaimana bisa dalam periode singkat seorang penulis bisa menghasilkan banyak tulisan semacam ini? Menerbitkan banyak buku dalam periode yang singkat bukan kemampuan yang dimiliki oleh penulis semacam Pramoedya, mangunwijaya ataupun Dewi Lestari. Bahkan beberapa penulis membutuhkan satu sampai dua tahun untuk "bertapa" dan menghasilkan sebuah karya. Maka dari itu apa yang dilontarkan Tere Liye kepada "fans"nya menurut hemat saya merupakan sebuah otokritik terhadap tulisannya sendiri. Dia selalu "mengeluh" mengenai bagaimana salah paham atas karyanya, ataupun bagaimana para fans malah justru salah membaca karya. Hanya sekadar mengingatkan bahwa Roland Barthes dengan "the death of the author"nya bisa mematikan argumentasi dari Tere Liye. Dimana sebuah karya yang sudah dipublikasikan tentunya menjadi hak sepenuhnya para pembaca. Mengenai salah baca dan lain lain, aku kira bisa ditempuh secara akademik bukan melalui status media sosial yang sungguh tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang penulis. Lantas saya hanya membayangkan, penulis penulis yang lebih senior pun, seperti seno Gumira Ajidarma misalnya, saya yakin dia tidak akan mengurusi hal remeh temeh semacam ini. Tidak akan terlalu menggubris penggunaan karyanya yang dijadikan sebuah caption untuk media sosial.
Hal lain yang perlu disimak adalah pembaca. Disini saya sangat memposisikan diri sebagai pembaca yang menjaga jarak dengan apa yang saya baca. Dengan kasus Tere Liye semacam ini, justru kita bisa belajar untuk memilah dan memilih mana bacaan yang sungguh bisa menjadi inspirasi hidup, mana bacaan yang kita jadikan sebagai hiburan semata. Saya rasa dengan status Tere Liye semacam ini, saya tidak akan menaruh tulisan Tere Liye masuk ke dalam kategori bacaan inspiratif atau serius sejajar dengan mangunwijaya, sindhunata, pramoedya. Bahkan untuk sejajar dengan penulis yang lahir di jaman lebih muda macam dewi lestari dan ayu utami pun tidak. Mungkin posisi saya agak keras dalam menanggapi Tere Liye. Namun begitulah adanya. Bukannya kita semua menulis untuk "bersenang-senang" dan "bermain" yang tidak main-main? Lantas akhir kata saya mengucapkan terimakasih kepada Tere Liye yang sudah menyadarkan saya tentang dimana posisi tulisan anda seharusnya diletakkan.