Setelah kasus pembunuhan guru oleh murid di sampangan, madura, ada fenomena aneh yang saya saksikan. Saya seorang alumnus yang lulus dari sekolah berembel embel keguruan. Teman teman saya ada beberapa yang bersyukur karena tidak menjadi guru. Tapi saya mencoba memaknai apa yang sebenarnya ada pada negeri ini dan pendidikannya.
Entah mengapa ketika melihat kasus pembunuhan ini sontak saya berpikir mengenai pola komunikasi yang terjadi di dalam kelas Indonesia. Beberapa pola komunikasi yang terjadi adalah pola pola kekuasaan, dimana guru masih yang berkuasa di dalam kelas. Guru harus menjadi "manager" bagi kelasnya. Satu atau dua murid yang tidak sesuai dengan sistem yang diterapkan mungkin akan dibuang begitu saja. Ditinggalkan. Lantas tidak terbentuk pola komunikasi yang interaktif di dalam kelas.
Saya tidak menyalahkan pilihan alm.guru Budi yang menegur lantas mencoret muka siswanya. Tapi saya hanya memberikan kemungkinan lain untuk menangani murid ini. Prinsip utama yang saya selalu terapkan adalah empat mata. Ya. Saya tidak pernah memarahi murid saya di depan kelasnya. Karena saya tau rasanya malu. Dan tujuan kita untuk berkomunikasi akan berubah seketika menjadi sebuah momen untuk mempermalukan mereka. Maka dari itu, bawalah mereka keluar dari kelas dan bicaralah kepada mereka.
Karakter anak kids jaman now juga sudah jauh berbeda dengan kita yang dalam generasi yang berbeda. Mereka lebih eksplosif dan eksploratif ketimbang kita. Atau malah sebaliknya. Mereka tidak akan bergerak jika mereka tidak tertarik. Dan tingkat agresivitas mereka sudah meningkat jauh, ini juga disebabkan dengan pola asuh orang tua sekarang yang mungkin lebih longgar dari jaman dulu. Ini menjadi PR bagi semua orang saya rasa. Dimana mereka harusnya menyadari bahwa generasi masa depan ada pada keluarga keluarga yang sekarang.
Sekali lagi, saya tidak menghakimi almarhum guru Budi. Saya salut karena ternyata dengan kejadian/kasus ini, kita bisa melihat bahwa ternyata untuk menjadi guru dibutuhkan lebih dari sekadar niat. Dibutuhkan nyali. Karena menjadi guru berarti menjadi pejuang yang rela dibunuh secara fisik, mental maupun ekonomi. Kok bisa? Ya. Karena menjadi guru berarti menerima ancaman pembunuhan, dibunuh (fisik). Menjadi guru juga berarti diteror bahkan dilaporkan ke polisi atas tindakan yang mungkin terlihat sepele, dan terakhir adalah menjadi guru berarti mati secara ekonomi. Karena gaji guru jika dirata-rata masih dibawah gaji seorang buruh. Lantas, mari kita syukuri kita kita yang menolak untuk menjadi guru.