Ada yang berbeda hari ini. Sepulang dari warnet aku mendapat kabar jika Pak Bangun, seorang dosen yang memberikanku banyak kritik itu, tadi pagi meninggal dunia. Reaksi yang paling jelas adalah kaget. Ya kaget. Karena baru rabu lalu kami masih berada dalam masa perkuliahan. Beliau juga tidak menandakan sakit yang berat. Tapi ada sebuah kalimat yang akhirnya kami sadar bahwa itu adalah kalimat perpisahan. Kalimat itu yakni "saya sudah kehabisan jatah untuk hidup. Apa yang saya berikan kepada kalian ini, semoga kelak kalian lanjutkan." Kami sontak teringat kata kata beliau yang amat mengisyaratkan tentang perpisahan.
Beliau adalah pemikir besar, setidaknya bagiku sendiri. Yang jelas terlihat adalah beliau pemikir bebas, yang enggan dihegemoni oleh ideologi apapun. Ia selalu mengkritik apa saja yang mencoba menghegemoni dirinya. Ia "nakal" karena terkadang ia menyindir tanpa tedeng aling-aling dan tanpa babibu lagi. Tapi yang jelas adalah ia tidak mau orang Asia, khususnya Indonesia, merasa bahwa kita punya nalar yang lebih rendah ketimbang orang eropa. Ia selalu menentang dan mengajak muridnya untuk melihat kearifan lokal yang sebenarnya memiliki konsep yang sama dengan apa yang dipakai oleh bangsa barat. Ia mungkin se-ideologi dengan Pram yang tak ingin sahabatnya ditindas dan diperas. Jelas ia seorang oposisi bagi siapapun juga yang mencoba menjadi seorang penjajah.
Selama perkuliahan satu semester ini, saya akui kelas yang ia gelar adalah kelas yang berat untuk saya. Berdiskursus dengan jawa abad 14 dengan meminjam teori dari para pemikir perancis, adalah sesuatu yang asing buat saya pribadi. Apalagi ia membagikan salah satu jurus andalannya yaitu 20 cara membaca naskah supaya kita tidak terjerat dalam "logika" penulis yang ditawarkan dalam teks. Saya tidak bisa berbicara banyak tentang apa yang beliau katakan di dalam kelas, sebab itu masih di luar jangkauan pengetahuan saya pribadi. Namun saya bisa berbicara mengenai bagaimana pribadi saya sendiri ditantang, "dilecehkan" dan diberi sebuah tugas yang tidak akan selesai. Kami diminta untuk "duduk sama rendah berdiri sama tinggi" dengan kaum-kaum intelektual barat. Itu tujaun beliau mengajar.
Selamat jalan Bapak Emmanuel Henrikus Subangun. Engkau sudah mendengarkan suara sunyi, seperti yang kau ajarkan kepada kami. Menjadi murid anda, adalah sebuah kesempatan langka, walau saya sering terjerembab mengejar laju lari nalar anda.