Robin Hood Akademis

15 0 0
                                    

Ada pikiran yang selalu menggangguku akhir-akhir ini. Kira-kira pertanyaannya begini,

"Mengapa ilmu hanya kebanyakan dikuasai oleh kelas menengah?"

Ada dua hal yang perlu diberi definisi supaya tidak terjadi diskusi yang terlalu meluas sebelum menjawab pertanyaan ini. Yang pertama adalah ilmu itu sendiri dan kelas menengah.

Ilmu disini adalah sekumpulan sistematika pengetahuan yang disusun atas dasar langkah-langkah ilmiah dan terkait satu sama lain. Ilmu tidak mungkin berdiri sendiri tanpa adanya "kaki-kaki" logika yang mungkin harus meminjam dari disiplin ilmu yang lain. Dan semua sistematika pengetahuan ini berkelindan satu sama lainnya. Ilmu mungkin secara amat ngawur bisa dibagi menjadi dua. Ilmu yang praktik (terapan) dan ilmu yang abstrak (konsep). Keduanya mungkin bisa dibedakan namun tidak bisa dipisahkan. Sekali lagi, mengimajinasikan bentuk ilmu mungkin akan tampak seperti jaring laba-laba yang besar dan rumit. Ada keterkaitan antara satu sistem dengan yang lain. Contoh saja. Ilmu matematika. Di dalamnya meminjam konsep-konsep ekonomi ataupun sebaliknya. Di dalam ilmu ekonomi, ia meminjam konsep yang ada di matematika. Jadi agak susah membayangkan ada ilmu yang sangat independen dan tidak memiliki keterkaitan dengan ilmu yang lainnya. Bahkan tidak jarang juga lahir ilmu baru sebagai manifestasi keterkaitan ilmu yang satu dengan yang lainnya. Contohnya adalah psikologi sosial, matematika ekonomi, bioteknologi, biokimia dan lain-lain.

Sedang kelas menengah dapat diartikan sebagai kelas ekonomi menengah ke atas. Biasanya masyarakat kelas menengah adalah orang-orang yang cukup mapan dalam kehidupan ekonominya. Memiliki daya finansial yang di atas rata-rata dari biasanya. Istilah kelas menengah ini bisa juga merujuk pada kelas yang ditawarkan dalam konsep teori marxis klasik. Dimana ada kaum borjuis dan proletar. Borjuis dengan pemilik alat produksinya, sedang proletar adalah pekerjanya. Saya hanya membayangkan kelas menengah ini ada di antara borjuis dan proletar. Mungkin bisa dibayangkan sebagai borjuis kecil. Di satu sisi ia tak punya banyak alat produksi dan harus menghamba pada yang lebih besar, tapi di sisi lain ia juga bukan proletar murni.

Kembali ke pertanyaan saya mengapa ilmu begitu amat dikuasai oleh kelas menengah. Kegelisahan ini berawal dari apa yang saya alami ketika melanjutkan pendidikan ke jenjang Pascasarjana. Belajar mengenai perjuangan kelas, teori kritis dan turunannya memang menggusarkan hati saya. Saya lahir dari kelas yang mungkin bisa dikatakan sebagai kelas menengah ke bawah. Walau akhirnya secara kehidupan ekonomi mulai merangkak naik, tapi saya tahu betul rasanya menjadi orang menengah ke bawah. Apa-apa harus mikir dulu, punya uangnya atau nggak.

Saya hanya heran melihat beberapa teman saya begitu getol bergerak untuk membela dan bersolidaritas. Tapi pada kenyataannya, mereka sedang tenggelam dalam kemapanan mereka. Itu sama saja membayangkan kapal pesiar yang ingin menyelamatkan kapal nelayan yang mau karam. Nelayannya mungkin minder melihat kapal pesiar yang begitu besar dan akhirnya lebih memilih mati tenggelam daripada mengotori kapal pesiar. Kira kira begitu lamunan yang saya bayangkan ketika orang-orang kelas menengah ini mencoba belajar dan membawa pengetahuan mereka ke ranah praktik.

Saya akui, mungkin saya bukan kelas menengah ke bawah. Saya masih bisa makan, beli pulsa, dan sesekali foya-foya. Namun sungguh aneh rasanya ketika melihat beberapa orang sedang belajar mengenai relasi kuasa tetapi mereka masih saja semakin menegaskan status sebagai anggota kelas menengah.

Kadang saya ingin sekali menjadi Robin Hood yang akademis. Merampok sebanyak-banyaknya lalu saya bagikan kepada orang-orang yang membutuhkan. Tapi itu adalah tantangan yang besar. Maka dari itu, berbagi dan mengajari teman-teman, siapapun itu, dengan jalan yang revolusioner juga.

Otak serong KananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang