Papa.

36.1K 1.6K 65
                                    

Tepatnya sudah dua hari ini, Dhika merasa dunianya kiamat, semua yang diihatnya terasa tidak menarik di matanya, tidak ada semangat untuk bekerja, tidak ada nafsu untuk makan dan yang pasti dia tidak ingin melakukan apapun selain berada di dekat a...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tepatnya sudah dua hari ini, Dhika merasa dunianya kiamat, semua yang diihatnya terasa tidak menarik di matanya, tidak ada semangat untuk bekerja, tidak ada nafsu untuk makan dan yang pasti dia tidak ingin melakukan apapun selain berada di dekat anaknya saja.

Sudah dua hari ini, Ari sakit. Kata dokter, pencernaannya bermasalah dan sudah dua hari ini juga bocah itu terpaksa harus dirawat di rumah sakit karena dehidrasi akibat diare.

Seharusnya Dhika tidak perlu sesedih ini karena kata dokter kondisi anaknya sudah membaik, infusnya pun sudah di cabut,  dan kemungkinan bisa pulang sore ini juga. Bahkan Rani, istrinya tidak sampai seperti dirinya, setidaknya perempuan itu masih mau makan dan bisa tertawa.

Tetapi Dhika tetap belum bisa tenang sebelum Ari dinyatakan benar-benar sembuh. Apalagi,  jika  matanya sudah melihat anaknya yang tergolek lemah dengan tangan dibebat perban itu menangis, membuat Dhika semakin merasa sedih saja dan rasanya ingin ikut menangis juga. Jika bisa, dia ingin, dia saja yang merasakan sakitnya. Jangan anaknya yang masih kecil itu.

Dua hari ini juga, dia merasa ada yang hilang,  tidak ada  tingkah dan ucapan-ucapan ajaib yang biasanya dilontarkan oleh Ari. Anaknya itu hanya tertidur, sesekali menangis dan  sedikit berbicara.

"Dhik. Makan dulu sana sama Rani, biar Abang sama Ibu dulu."

Dhika menoleh lalu tersenyum pada ibu mertuanya yang baru datang kemarin dari Solo setelah dikabari kalau Ari masuk rumah sakit. "Nanti aja, Bu. Lagian tadi saya udah makan roti," sahutnya, kemudian kembali mengelus-elus kaki anaknya yang sedang terlelap.

Rani yang sedang duduk di sofa sambil makan hanya meringis pada ibunya, dan memberi isyarat supaya berhenti membujuk Dhika untuk makan.

"Biarin aja dulu, nanti aku coba bujuk lagi," ucap Rani, saat Sukma, ibunya sudah duduk di sampingnya.

"Dia sering kaya gitu?" tanya Sukma dengan suara pelan.

Rani menggeleng. "Nggak. 'Kan Abangnya juga baru sekarang sakit sampai harus di rawat kaya gini. Tapi kalau cuma demam juga, dia tetap gak mau berangkat kerja sih. Kalaupun berangkat, dia pasti nelepon sepuluh menit sekali."

Sukma mengangguk, paham. "Namanya juga sama anak. Bapak kamu juga dulu gitu."

"Dhika itu kalau protectifnya udah kumat, Abang cuma jalan ke teras rumah juga pasti dibuntutin."

"Bagus dong Ran, itu artinya dia sayang banget sama Ari."

Dhika bukannya tidak mendengar kalau perempuan-perempuan yang duduk di belakangnya itu sedang membicarakannya, dia hanya tidak ingin memfokuskan perhatiannya selain pada Ari. Saat sedang memperhatikan wajah lucu yang  sedang terlelap itu, tiba-tiba Dhika melihat mata yang tertutup beberapa jam lalu itu mengerjap lalu terbuka.

Dhika tersenyum terlebih dahulu sebelum menyapanya.

Ari menatap wajah papanya sekilas lalu melihat ke seisi ruangannya. Sebelum merentangkan kedua tangannya meminta Dhika untuk menggendongnya.

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang