Bahaya!

29.1K 1.5K 54
                                    


Kring ... kring ....

"Itu suara apa?" Genta bertanya pada Ari yang sedang bergulung dengan selimut bergambar awan di sampingnya.

"Hah?" Ari membelalakan matanya, lucu. "Suala apa?"

"Suara itu. Kring ... kring ...." Genta menirukan kembali suara yang dia dengar.

Ari menyingkap selimutnya, kemudian berjalan ke arah jendela lalu menyipitkan matanya.

"Mamang kapas," ucapnya, "tapi udah jalan." Ari kembali duduk di samping Genta.

"Mamang kapas apaan?" tanya Genta, jujur saja dia baru kali ini mendengar sebutan itu.

"Itu, mamang pelemen kapas,"

"Apaan sih? Pelemen kapas apaan?" Dahi Genta berkerut menandakan jika ia sedang berpikir keras. "Pelemen kapas?"

"Yang manis-manis itu," ucap Ari, membantu sepupu yang usianya terpaut lebih dari satu tahun itu menemukan jawaban.

"Oh ...." Genta tertawa, otaknya berhasil menemukan jawaban. "Permen kapas?"

"Iyaaaaa," jawab Ari tak kalah semangat.

"Beli yuk!" bisik Genta. Bola matanya bergulir menyapu seisi kamar Ari, khawatir jika ia berbicara terlalu keras maka akan ada seorang mata-mata yang mendengarnya kemudian melaporkannya pada oma. Dia sudah berjanji akan mengajak Ari tidur siang, dan kalau sampai oma tau kalau mereka tidak tidur dan malah bermain, pasti oma akan marah.

"Uangnya gak ada," ucap Ari. "Uangnya halus yang putih-putih."

Kening Genta lagi-lagi berkerut. Uang putih-putih itu apalagi? Apakah uang mainan?

"Uangnya yang lima ribu." Genta merentangkan kelima jarinya ke hadapan Ari.

Ari mengangguk, setuju. Meskipun sebetulnya dia tidak tahu bentuk uang 'lima ribu' itu seperti apa.

"Tapi aku gak punya uang yang lima ribu," keluh Genta. Walaupun dia sudah sekolah TK tapi ibunya tidak pernah memberinya uang lembar lima ribuan, hanya pecahan dua ribuan sebanyak lima lembar itupun sudah habis karena dibelikan mainan gambar.

Ari ikut berpikir, hingga tiba-tiba terlintas satu ide di otaknya.

"Mau ke mana?" tanya Genta, saat Ari berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Mau minta uang, buat beli pelemen kapas sama papa," jawab Ari, polos.

"Tapi nanti papa kamu marah." Genta ikut-ikutan berdiri lantas menahan tangan sepupunya yang akan membukakan pintu.

"Papa baik, yang malah itu mama." Ari melepas tangannya pada kenop pintu kemudian berkacak pinggang di depan Genta. "Nanti mama ngomong 'Abang ... mama itu pusing kalau Abang jajan-jajan tlus' gitu," jelas Ari, meniru gaya bicara mamanya.

Alis Genta bertaut, bingung. Kalau sudah tahu akan dimarahi lalu kenapa Ari malah bersikeras akan tetap meminta uang. "Jangan keluar nanti Oma marah."

Mata Ari mengerjap lucu. "Oma itu baik," ucapnya seraya menyingkirkan tangan Genta dari kenop pintu kemudian perlahan membuka pintu kamarnya.

Genta pasrah. Akhirnya dia mengikuti Ari yang berjalan ke arah kamar om nya atau papa Ari. Sembari berharap kalau omanya sedang tertidur supaya dia dan Ari tidak akan dimarahi.

Pelan-pelan.

Dengan penuh kehati-hatian Ari membuka pintu kamar papanya yang tidak terlalu rapat. Diikuti Genta, dia berjalan mengendap-endap lalu naik ke atas ranjang di mana papanya sedang tertidur pulas dengan bantuan Genta yang menunggu di bawah.

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang