Ari si anak sapi.

26.9K 1.4K 81
                                    

Sore itu Ari ditinggal di rumah hanya bersama kakek, nenek dan omnya saja, karena papa dan mamanya harus pergi ke rumah sakit menjenguk salah seorang teman mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sore itu Ari ditinggal di rumah hanya bersama kakek, nenek dan omnya saja, karena papa dan mamanya harus pergi ke rumah sakit menjenguk salah seorang teman mereka.

Ditunggui neneknya yang duduk di teras, ia pun bermain di samping kolam sembari memandikan Ceci di baskom khusus tempat bebek itu mandi. Sementara kakeknya sedang merapikan mainan peralatan bengkelnya yang berserakan.

Tidak lama kemudian, Ditya yang baru bangun tidur siang ikut bergabung. Sambil mengucek mata dan sesekali menguap, laki-laki itu duduk bersila di hadapan Ari. Memperhatikan sang keponakan kesayangannya itu  bercengkrama dengan seekor bebek dan seekor anak kucing yang seolah tak mau jauh-jauh.

"Bebeknya suruh berenang di kolam aja," ucap Ditya sambil menopang dagu.

"Ini bukan bebek." Ari memprotes. Tangan kecilnya yang sedang menciprat-cipratkan air ke tubuh Ceci terhenti sejenak.

"Kalau bukan bebek terus apa dong?"

"Ceci," jawab Ari.

"Oh jadi Ceci sama bebek itu beda? Tapi kok kayak bebek, ya?" Kening Ditya mengerenyit. "Masih saudaraan apa gimana tuh?"

"Heeh." Kepala Ari mengangguk lucu. "Kata mama ini Ceci, ini Moli." Diam sejenak, kemudian Ari menunjuk mobil-mobilan dan motor-motorannya yang sedang dijemur lantaran tercebur ke kolam. "Itu Gogo, itu Deko."

Mengangguk samar lalu  dalam hati Ditya berujar, 'Oh, jadi Gogo sama Deko itu mainan, gue pikir bocah juga. Pantesan pas kemarin gue panggil gak nyahut-nyahut.'

Melihat omnya hanya diam sambil menatap Gogo dan Deko. Ari pun beranjak menghampiri kakeknya. "Kakek, Gogo sama Dekonya abis sepis-sepis ya?" ucapnya.

Adiwangsa mengangguk. Merentangkan tangan kemudian memangku cucunya itu. "Iya, kan Gogo sama Dekonya diceburin ke kolam jadinya gak mau jalan."

"Kan mau blenang, ya?"

"Kalau Gogo sih bisa berenang, nah kalau Deko diceburin gitu jadi gak hidup," jelas Adiwangsa sambil mengusap rambut Ari. "Harusnya mandiinnya pakai selang."

"Nanti sepis bengkel aja pake delek," balas Ari.

"Motor kayak gitu sih gak usah diderek pakai mobil, pake gerobak Mamang sayur aja." Ditya menyahuti.

Alis Ari bertaut. "Gak boleh nanti lusak."

"Lah 'kan udah Abang rusakin lebih dulu," balas Ditya, gemas."diceburin ke kolam."

"Gak." Ari menggeleng cepat. "Kan Abang sepis-sepis pake obeng. Tlus …."

"Terus apa?"

"Terus dorong deh ke kolam, karena kesal." Adiwangsa menyahuti sembari tersenyum mengingat cucunya yang kadang tak sabaran  itu.

"Kesal kenapa, Pi?" tanya Ditya penasaran.

"Mungkin karena dia sering lihat papanya buka baut itu pake obeng, jadi dia ikutan pake obeng. Tapi salahnya bautnya itu baut kembang dan dia coba buka pake obeng min besar. Ya, susah. Dia kesal terus motornya itu didorong ke kolam."

Mendengar penjelasan itu, Ditya sampai tergelak. "Tapi segitu sih lumayan, Pi. Dia udah tahu kalau fungsi obeng itu buat buka baut. Cuma masih belum tahu jenisnya aja."

Adiwangsa mengangguk. "Ya tiap hari ngelihat papanya mainan yang gituan, otomatis dia jadi tahu juga."

"Menurut Papi, ini bakalan jadi calon tukang bongkar pasang juga gak?" Dengan ekor matanya Ditya melirik Ari.

"Kayaknya sih dia ada bakat dan minat di situ juga. Mirip Mas Dhika waktu masih kecil, gini juga, ngoprek mulu. Mainan apapun yang dikasih musti semuanya dia bongkar."

Ditya terkekeh, sementara Ari hanya mendongak memperhatikan wajah sang kakek. Dia sama sekali tidak mengerti apa dan siapa yang dibicarakan kedua laki-laki dewasa itu.

"Tapi aku denger-denger Mas Dhika pengin masukin dia ke racing school, Pi. Berarti Mas Dhika penginnya dia jadi pebalap?"

"Iya. Cuma Kak Rani-nya kan belum ngasih izin. Atau mungkin gak akan ngasih izin. Ya, kamu tahu sendiri lah, jadi rider itu resikonya besar, crash lah, cedera lah, mungkin karena itu kakak iparmu jadi khawatir."

Ditya mengangguk paham. "Iya ya. Nanti kalau sering cedera keponakanku ini gak akan ganteng lagi dong."

Adiwangsa tersenyum. "Kita lihat aja dulu minat dia di otomotif sebesar apa. Anak sekecil ini kan masih gampang berubah-ubah, rasa keingintahuannya akan sesuatu juga kan besar banget, jadi tidak akan menutup kemungkinan kalau dia malah beralih nantinya."

"Tapi kalau terus diarahkan pasti akan konsisten."

Mengangguk, Adiwangsa lalu menatap Ari. "Jadi apapun nanti kalau sudah besar yang penting harus soleh dan dermawan dulu."

"Kakek, Abang mau jadi soleh ya?" sahut Ari, sontak membuat Ditya dan Adiwangsa langsung tersenyum.

"Iya," jawab Adiwangsa sambil mencium kepala Ari. "Harus soleh, murah hati, sayang sama mama-papa, sayang sama semuanya."

"Sama Ceci sama Moli gak?" celetuk Ari.

"Ya ya ya," sahut Ditya.

"Ceci kan sama Moli kan, mamanya gak ada ya?" Ari menatap kakeknya. "Buang-buang."

Kontan, Ditya dan Adiwangsa saling tatap.

"Molinya ambil papa sana, mau tablak." Dengan polosnya, Ari menceritakan tentang asal-usul Moli. "Tlus, mandiin, kasih susu sama makan sama selimut sama mama."

"Terus?"

"Suka galakin kucing besal. Sama papa silam gitu." Bibir Ari mengerucut.

Seulas senyum terbit di bibir Adiwangsa, matanya menatap gemas sekaligus bangga pada sosok kecil di pangkuannya itu.

"Kakek, kakek?"

"Hm?"

"Moli anak siapa sih?"

Adiwangsa tersenyum. "Anak mamanya Moli."

"Mamanya Abang anak siapa?"

"Anak Oma."

"Papanya Abang anak siapa?"

"Anak kakek."

"Tata anak siapa?"

"Tante Diandra."

Ari diam sejenak kemudian menatap ke arah neneknya. "Nenek anak siapa?"

"Anak mamanya nenek," jawab Ditya.

"Om Dita?"

"Anaknya nenek."

Ari menghela napas, berpikir sebentar kemudian bertanya, "Abang anak siapa?"

"Anak semuanya," jawab Ditya dan Adiwangsa bersamaan.

Ari mengibaskan tangan. "Bukan."

"Terus anak siapa dong?" tanya Ditya.

"Anak sapi," sela Ari. "Kata Tante juga Abang anak sapi. Minumnya susu sapi bukan susu mama."

"Anak sapi, ya?" Adiwangsa tersenyum miris. Bagi anak sekecil Ari mungkin itu terdengar lucu, namun baginya entah kenapa itu terdengar seperti sebutan lain dari anak angkat. "Gak apa-apa. Anak sapi itu kuat, pinter, lucu dan baik. Semoga Abang juga bisa kuat, pinter, lucu dan baik."

"Aamiin," gumam Ditya.

12.08.18

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang