Kangen?

31.6K 1.5K 26
                                    

Bantal berbentuk kepala sapi itu sejak beberapa menit lalu tidak ditinggalkan pemiliknya. Menjadi sandaran empuk bagi si empunya sembari menonton televisi dan menikmati sebotol susu cokelat dengan kaki kanan terangkat menindih kaki kiri, berbaring nyaman di atas karpet tebal.

Tumben.

Biasanya, di antara jam 10 sampai jam 11 pagi adalah waktu tersibuk bagi si pemilik bantal kepala sapi. Entah itu membuat berantakan kamarnya sendiri, ruang keluarga ataupun sibuk menggiring anggota gengnya.

"Ari lagi gak enak badan?" Sambil berjalan ke arah sofa, Sukma bertanya pada Rani yang juga berada di sana tengah melipat tangan dan bersandar rendah pada punggung sofa.

"Nggak, Bu. Mungkin lagi males aja." sahut Rani seraya meneliti tampilan ibunya yang sudah rapi. "Ibu jadi berangkat sekarang?"

"Iya, jemput Genta ke sekolahnya terus ke sini," ucap Sukma. Dia berencana menjemput cucunya yang lain untuk menginap di rumah ini atas permintaan Dhika, menantunya yang sedang pergi ke luar kota.

"Oh. Tadi Dhika udah nyuruh Pak Sobar ke sini untuk anterin Ibu, jadi Ibu gak perlu pakai taksi," ujar Rani. Memberi tahu ibunya kalau suaminya sudah menyiapkan seorang sopir untuk mengantar ibunya itu berpergian.

"Abang ...." Perhatian Sukma sekarang beralih pada cucunya yang tampak sedang khusyu menonton tv yang menampilkan lagu anak-anak. "Bang, mau ikut gak?" tanyanya.

Ari menoleh, lalu melepas dot dari dalam mulutnya. "Oma mau mana?"

"Mau ke sekolahnya Tata."

"Sama mama?" tanya Ari.

"Sendiri. Abang mau ikut gak? Kalau mau ikut, Abang ganti baju dulu." Sukma tersenyum. "Oma tungguin."

Ari menggeleng. "Mau sama mama."

"Sama Oma aja," bujuk Sukma, "mama jangan diajak."

"Gak mau," sentak Ari. Moodnya benar-benar sedang tidak baik.

Mendengar jawaban yang diucapkan dengan nada agak tinggi itu, membuat Sukma langsung berdiri setelah mengecup pipi Ari yang mulai berisi itu, ia tidak ingin memaksa lagi. Percuma saja, anak itu pasti akan menangis.

"Mama anterin oma ke depan dulu ya, Bang?" Rani berdiri dari duduknya, kemudian berjalan mengikuti Sukma ke luar tanpa menunggu persetujuan dari Ari terlebih dahulu. Lagi pula anak itu seakan tidak peduli sama sekali.

Selepas orang-orang dewasa itu pergi, Ari menggulingkan tubuhnya ke samping, lalu bangun. Matanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memindai seisi ruangan yang terasa sepi hari ini.

Ari berdiri, kakinya melangkah kecil ke arah meja di sudut ruangan yang digunakan untuk menyimpan beberapa foto.

Ari berjinjit, tangannya mencoba menggapai satu bingkai foto seorang lelaki yang terlihat sangat tampan dan gagah dalam balutan jas.

"Susah." Ari mengeluh, tangan kecilnya terus beusaha keras demi bisa menggapai benda itu.

"Abang mau ambil apa?" Rani yang baru kembali dari luar langsung menghampiri anaknya yang tampak tengah kesulitan mengambil sesuatu yang berada di atas meja. "Mau ambil apa?" tanyanya lagi.

"Ambil itu," ucap Ari sambil menunjuk foto papanya. "Ambilin," pintanya memelas.

"Tapi jangan dibanting, ya? Nanti foto papanya rusak." Rani mengambil foto tersebut lantas diberikannya pada Ari dan langsung dipeluk anak itu.

Dari belakang, Rani membuntuti Ari yang kembali duduk di atas karpet seraya memeluk foto Dhika dengan erat.

"Abang kangen sama papa, ya?" tanya Rani, ia kini ikut duduk di dekat anaknya itu.

"Papa pulangnya lama?" Ari menatap mamanya, sementara kedua tangannya memeluk foto papanya erat.

"Dua hari," jawab Rani sembari menunjukan dua jari agar anaknya dapat mengerti.

"Masih lama?"

Rani menggeleng. "Papa pulangnya besok."

Ari menunduk. Rasanya sedih mendengar jawaban mamanya itu. Meskipun papanya itu sangat jahil dan terkadang membuatnya benci karena kerap mengganggunya, tapi jujur Ari merasa rindu jika papanya itu harus pergi terlalu lama.

Tidak ada yang mengajaknya bermain sepeda, memberi makan Moli dan Ceci, berenang, bergulat, bermain bola. Dan yang paling membuatnya kehilangan adalah tidak adanya papa yang akan menciumi pipinya dengan dagu yang ditumbuhi rambut yang tajam. Ari rindu itu semua.

"Abang." Rani menarik Ari mendekat ke pangkuannya. "Jangan sedih dong, papa perginya gak lama kok. Pas Abang bangun tidur besok pagi, papa udah ada di rumah lagi dan besok, Abang bisa main sama papa lagi."

Rani sebenarnya tidak terlalu yakin jika tebakannya itu tepat. Tapi melihat Ari yang lebih pendiam hari ini membuatnya berasumsi jika, anaknya itu tengah dilanda perasaan kehilangan akan sosok Dhika yang selalu menemaninya melakukan apapun.

Meskipun kerap terjadi keributan antara mereka berdua, tapi Rani tahu ikatan ayah-anak di antara keduanya sudah terlalu kuat, sehingga timbulah rasa rindu ketika mereka terpaksa harus berjauhan.

Entahlah, tebakannya itu benar atau tidak, tapi yang pasti Rani bisa mendengar getar kerinduan itu keluar dari suara Ari ketika menanyakan Dhika.

"Abang kangen papa, ya?" tanya Rani lagi.

Ari menggeleng. "Mama ...."

"Apa?"

"Kangen itu apa?"

Rani tergelak. Kangen itu apa?



 Kangen itu apa?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

cr. phrintherapy



17.11.28

Kangen itu apa sih?



Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang