Tante? (2)

25K 1.5K 51
                                    


Hanya untuk beberapa detik saja, Rahma merasakan tubuhnya juga tubuh Ari berdekatan. Dia bahkan belum sempat menyimpan harum yang menguar dari tubuh anak itu dalam ingatannya. "Terima kasih," ujarnya dengan suara sedikit bergetar.

Ari mengangguk, kemudian tersipu malu.

Seolah terhipnotis oleh senyuman itu, untuk beberapa saat Rahma tidak mampu berpaling. Wajah itu, senyum itu, mata dan hidung itu, sebisa mungkin coba Rahma abadikan di dalam benaknya.

Rani yang menyaksikan momen itu, hanya bisa menatap kosong tanpa ekspresi. Entah kenapa, tiba-tiba ada sedikit rasa iri yang menelusup di hatinya. Melihat betapa miripnya wajah Ari dan Rahma membuat Rani merasa asing berada diantara keduanya.

Salahkah, jika dirinya merasa cemburu saat melihat itu?

"Mama udah." Ari berucap sambil menyenderkan tubuhnya pada Rani.

"Udah, ya?" tanya Rani, tersenyum tipis.

Ari mengangguk. Membuat Rahma yang berada di depannya langsung memalingkan wajah. Seketika ia merasa sudah mengingkari janjinya sendiri karena sudah merasa cemburu pada Rani.
Melihat bagaimana Ari begitu menyayangi Rani, membuat Rahma yang kini merasa menjadi orang asing.

"Tante udah." Ari berkata pelan, memasukan ujung jari telunjuknya ke dalam mulut. "Mainannya mana?" Wajahnya bersemu, malu.

Rahma tersenyum seraya mengangguk. "Emang Ari mau mainan yang mana?" tanyanya.

"Yang ... boneka kucing."

Kening Rani berkerut. "Kok jadi boneka kucing sih? Bukannya mau mainan mobil-mobilan?"

"Mau dua," ujarnya.

"Emang Ari suka sama kucing?" tanya Rahma. "Gak takut? Kucing 'kan suka nyakar."

Ari menggeleng. "Nggak. Moli 'kan baik ya," Ma?" Rahma yang bertanya tapi tatapan Ari tetap mengarah kepada Rani.

"Moli itu siapa?" Rahma menyentuh pipi Ari, meminta perhatian sepenuhnya dari anak itu. Akan tetapi, sepertinya Rani memang memiliki keistimewaan di mata Ari, anak itu hanya menoleh sebentar ke arahnya kemudian kembali pada Rani.

"Moli ... itu ... kucing. Keciiiil." Ari menjelaskan seraya menangkupkan kedua tangannya untuk menggambarkan sekecil apa Moli itu. "Tapi sekalang udah besal gini," ujarnya sambil merentangkan tangannya. "Makannya banyak."

"Oh, terus?" Rahma mulai tahu obrolan apa yang dapat memancing Ari supaya mau berbicara banyak.

"Kan aku main sepeda sama papa, tlus Moli itu, mamanya gak ada. Tlus dinakalin kucing besal, tlus kucing besalnya disilam papa," cerita Ari dengan mata berbinar, mengisahkan awal mula dirinya bertemu dengan Moli.

"Mamanya Moli gak ada?" Rahma menatap sendu pada Ari. "Ke mana?" tanyanya.

"Gak tau."

"Ari sayang gak sama Moli?"

Ari mengangguk. "Iya. Sama Moli, sama Ceci, sama Mama, sama Papa, sama Oma, sama Tata, sama Nana--- sayang semuanya."

"Sama Tante?" Rahma menatap penuh harap, Pantaskah?

"Iya," sahut Rani.

"Iya." Ari meniru ucapan Rani.

Merasa suasana mendadak menjadi agak canggung, Rahma pun memilih berdiri. Jika sebentar lagi saja dia berada di sini, dia yakin air matanya akan menerobos dinding pertahanannya. Semakin lama melihat dan berinteraksi dengan Ari, membuatnya semakin merasa berdosa. "Beli mainannya jadi gak?"

Ari mengangguk semangat. Lalu menyuruh Rani berdiri dan menuntun perempuan itu berjalan menuju rak yang menyimpan boneka berbentuk binatang.

Sementara Ari memilih mainan yang diinginkannya, Rani dan Rahma berdiri memperhatikan di belakangnya.

"Rumah Mbak, selalu terbuka kalau kamu ingin bertemu dengan Ari," ucap Rani.

Rahma tersenyum miris. "Nggak, Mbak. Untuk sekarang-sekarang aku belum kepikiran untuk berkunjung ke rumah Mbak. Aku belum bida mendapatkan hadiah yang akan aku bawa untuk Ari."

Rani menghela napas, ia tahu betul 'hadiah' apa yang dimaksud Rahma, yaitu ayah kandung Ari.

"Mbak tunggu sampai kamu siap. Bagaimanapun, Ari memiliki hak untuk tau siapa yang sudah melahirkannya." Rani menyentuh pundak adik se-ayahnya itu dengan penuh perasaan.

"Kalaupun Ari gak tau, aku gak apa-apa. Aku yakin kehadiran Mbak dan Mas Dhika udah cukup menjadi orangtua untuk Ari."

"Rahma--"

"Kalau bisa, pertemuan gak sengaja ini cukup kita yang tau. Mbak gak perlu mengungkit ini kepada Ari, suatu hari nanti." Rahma menoleh, menatap wajah Rani dengan tatapan penuh harap. "Mbak, terima kasih karena sudah menyayangi anak aku seperti anak sendiri."

Hati Rani mencelos mendengar itu, bukankah harusnya ia yang mengucap terima kasih?

"Setelah ini mungkin dalam waktu yang lama baru bisa pulang lagi. Aku diterima kerja di tempat yang aku impikan sejak dulu. Bisa jadi ini pertemuan terakhir aku sama Ari."

"Jangan bercanda!" tegur Rani.

Rahma tersenyum. "Ongkos bolak-balik Amerika-Indonesia itu mahal, Mbak."

"Mama ... mau yang ini." Ari memeluk boneka kucing berwarna putih ke hadapan Rani.

"Yang ini ya?" tanya Rahma, kemudian meminta Ari menyerahkan boneka tersebut padanya untuk kemudian dibayar.

Tidak sampai 10 menit, Rahma kembali dengan goodie bag berwarna biru di tangannya. "Ini," ucapnya, menyerahkan benda tersebut pada Ari.

"Makasih," ucap Ari malu-malu. Menerima goodie bag tersebut dengan kedua tangannya.

"Kalau gitu aku pamit pulang duluan ya, Mbak?" Rahma merentangkan tangannya kemudian memeluk Rani sebelum berpaling pada Ari dan berjongkok di hadapan anak itu. "Tante pulang dulu ya? Boneka kucingnya harus di sayang," pesannya sambil menjentik hidung Ari membuat anak itu terkikik.

"Tante pulangnya jauh?" tanya Ari.

Rahma mengangguk.

Dengan gerakan cepat, Ari memeluk leher Rahma kemudian mencium pipinya tanpa mengucap apapun. Setelahnya dia memeluk kaki Rani karena merasa malu.

Setelah berpamitan, Rahma pun berdiri lantas membalik badan dan mulai berjalan meninggalkan Rani dan Ari dengan mata berkaca-kaca.

"Tante ... dadah."






















Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang