Ujung-ujungnya jajan.

30K 1.4K 45
                                    


Sama seperti hari-hari libur sebelumnya. Hari libur kali ini pun Rani dan Dhika memilih menghabiskan waktu di rumah saja. Selain karena Ari yang kerap rewel jika diajak berpergian kalau jalanan sedang macet, juga berhubung seluruh anggota keluarganya sedang berkumpul di Jakarta meski berbeda lokasi, jadi mereka memutuskan diam di rumah saja. Menghabiskan waktu untuk mengasuh Ari sekaligus merapikan rumah yang sudah diberantaki oleh mainan-mainan dari yang berukuran kecil hingga besar.

"Yang udah berantakinnya mana nih?" tanya Dhika, sambil memasukan mobil mainan Ari ke dalam box berwarna biru, robot-robotan ke dalam box berwarna hitam dan mainan berbentuk binatang juga beberapa mainan lainnya ke dalam box berwarna merah. Supaya tidak bingung saat nanti Ari mencarinya.

"Masuk ke kamar sama Moli," jawab Rani sambil membereskan permen-permen dan makanan ringan lainnya yang berserakan di atas meja.  "Tadinya dia mau keluar main ke rumah Hana. Tapi berhubung Hananya gak ada, jadi dia balik lagi terus diem di kamar. Ngurung diri."

"Ada-ada aja." Dhika terkikik, merasa geli sendiri membayangkan itu. "Mungkin karena udah mulai gede, jadi kalau gak ada temen, dia lebih milih masuk kamar. Walaupun harus bawa-bawa gengnya."

"Jangankan gak ada temen," sahut Rani, "kalo lagi ngambek sama aku juga gitu. Banting pintu kamar terus nangis. Giliran aku mau masuk, gak boleh. Tapi pas mau aku tinggalin nangisnya malah makin kenceng. Terus ujung-ujungnya pasti minta jajan. Mending kalau dimakan."

Tawa Dhika pecah.

"Mana kalau dikasih uang harus dua ribuan lagi. Gimana kalau udah gede coba?" gerutu Rani. Meski tak urung ia merasa bangga saat mengatakan itu.

"Aku malah gak sabar nunggu dia cepet gede. Sampai seumuran Ditya sekarang lah." Senyum Dhika mengembang ketika membayangkan bagaimana anaknya nanti saat ia sudah seusia adik laki-lakinya, yang sekarang sudah kelas 11 SMA. "Saat itu, pasti abang udah bisa diajak ngobrol serius, sharing dan ngomogin hal-hal yang biasa diobrolin antar cowok."

Rani mendengus. "Saat itu juga minta uangnya udah bukan uang dua ribuan lagi."

"Tapi serius, aku tuh udah gak sabar," ujar Dhika. Wajahnya berseri-seri.

***

Lain di ruang keluarga lain juga di dalam kamar. Ari berbaring menyamping di atas kasurnya sambil memeluk Moli agresif, hingga membuat Moli terus-terusan bergerak tidak nyaman.

Mungkin, kalau saja kucing tersebut dapat berbicara, sudah barang pasti Moli akan memprotes kelakuan bosnya itu. Dia sedang tidak ingin tidur, dia ingin bermain di luar berlari-larian. Bukan dikurung di kamar seperti ini.

"Moli jangan glak-glak." Ari mengelus kepala Moli, sayang. "Tidul aja," ucapnya sambil memeluk kucing tersebut semakin erat.

'Meow' sahut Moli, memberontak. Menendang-nendangkan kaki pada selimut yang menutupinya.

"Moli! Jangan nakal!" kata Ari kesal. "Kalau Moli nakal. Jangan main sama Abang, main lual aja. Nanti dinakalin Buno sama kucing besal," ucapnya. Mendorong tubuh Moli agar menjauh sambil merengut.

'Meow' Moli berjalan mendekati pintu. Diam di sana sebentar ketika tahu kalau pintu tersebut tertutup rapat.

"Tuh ... kan." Ari bangun dari tidurnya. Menyibakan selimut bergambar sapinya kemudian menghampiri Moli untuk digendongnya. "Moli gak bisa lual sendili. Masih kecil sih," ucapnya. Menasihati Moli.

Tapi bukannya diam, Moli malah memberontak di gendongan Ari. Bukan karena tidak mau, tapi lagi-lagi cara menggendong bosnya itu yang membuatnya tidak merasa nyaman. Apalagi Ari  mengayunkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Membuat Moli pusing saja.

Akhirnya Moli pun menggerakan kakinya. Memukul wajah Ari pelan.

"Moliii ...." ucap Ari, lirih. Matanya berkaca-kaca. Dia merasa kaget akan apa yang baru saja diberikan Moli untuknya. "Sakit," katanya sambil melempar Moli ke tengah kasur kemudian berlari membuka pintu dan keluar. Tangisnya langsung pecah. "Mama."

"Loh-loh kenapa?" Dhika yang sedang merapikan box mainan, langsung membawa Ari ke pangkuannya saat melihat anak itu berlari sambil menangis. "Kenapa?" tanyanya lagi.

"Moli nakal." Ari mengadu. Menjatuhkan kepalanya di cerukan leher Dhika. "Pukul-pukul ini," ucapnya sambil memegang pipinya sendiri.

"Abangnya nakal kali," kata Dhika, "mana Papa liat."

Ari menganggkat kepalanya, memegang pipi yang tadi ditampar Moli. "Molinya gak mau tidul. Gak mau digendong, gak mau ayun-ayun juga."

"Molinya lapar kali, makanya gak mau tidur." Dhika mengusap pipi Ari dan menciumnya juga beberapa kali. "Coba Abang kasih makan dulu."

"Gak mau!"

"Kok gak mau?" tanya Dhika, heran. "Moli gak bisa tidur kalau belum makan."

"GAK MAU!" Ari berteriak sambil memukul-mukul dada Dhika. "Kalau nakal jangan kasih makan," ujarnya. "Gak mau main sama Moli."

"Maunya main sama siapa? Sama Ceci?"

Ari menggeleng.

"Sama Mama," sahut Rani yang baru datang dari dapur membawa secangkir teh untuk Dhika setelah menyimpan jajanan Ari ke dalam kulkas.

Ari menggeleng.

"Sama Papa?"

Ari menggeleng lagi.

"Terus?" tanya Dhika, "sama siapa? Mau main ke rumahnya Alif?"

Ari menggeleng lagi. Sambil menyusut hidungnya kasar, ia turun dari pangkuan Dhika. Berpindah duduk di karpet kemudian menidurkan kepalanya di pangkuan Dhika lagi.  "Mau jajan sana, pake motolr Papa ...." Ari menunjuk motor vespa, yang terlihat dari jendela ruang keluarga.

"Huuh," Rani bersorak. "Nangisnya gara-gara Moli, ujungnya malah minta jajan."

"Huuh." Ari balas menyoraki Rani. Bibirnya mengerucut, mengalahkan paruhnya Ceci. "Mama jangan ajak ya, Pa?" ucapnya mencari pembelaan.

Dhika mengangguk. "Iya, tapi abis Papa nonton TV."


18-01-01

18-01-01

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Cr. Printherapy

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang