"Bang ... Abang." Dhika berjalan dari kamarnya ke ruang keluarga, menghampiri Ari yang sedang asik menonton televisi di sana sambil memegang botol susu. "Abang, Abang, Abang," panggilnya lagi, sementara yang dipanggil tetap bergeming. Mata beningnya kelewat fokus pada Thomas and friends, tapi Dhika tidak peduli, walau diabaikan dia tetap memanggil-manggilnya. "Abang, Abang mana ya?" Dia duduk kemudian mencium pucuk kepala Ari.Seketika harum khas shampo bayi langsung menguar memenuhi rongga hidungnya. Dhika tersenyum gemas. "Ih, Abang keramasnya pake shampo Papa, ya?"
Ari menoleh, mata beningnya menatap lurus pada Dhika. "Gak," ucapnya sambil mengusap rambutnya yang sudah disisir rapi oleh mamanya. "Abang, pake shampo bebi yang kuning."
"Masasih?" Dhika menautkan alis. "Kok kaya punya Papa," ujarnya seraya menciumi kepala Ari.
Ari menggeleng. "Gak. Ini pake shampo bebi kata mama juga."
"Ini shamponya punya Papa, ah." Satu kecupan lagi Dhika berikan ke kepala Ari.
"Rambutnya diciumin papa tuh, Bang." Suara Rani menginterupsi keasikan Dhika menciumi rambut Ari. Perempuan yang baru saja selesai berganti pakaian itu lalu duduk di sofa. Agak jauh dari suami dan anaknya yang duduk di atas karpet.
Dhika seketika mendelik ke arah istrinya. "Jangan dikasih tau. Ntar ngambek." Dia baru tahu belakangan ini, kalau anaknya sekarang paling tidak suka diciumi rambutnya kalau sudah dikeramasi.
Ari berdiri kemudian mengusap-usap kepalanya. Baru sadar. "Papa ih jangan cium-cium, bau!" Bibirnya mengerucut. Sambil melempar botol susu pada Dhika, membuat papanya langsung pura-pura meringis kesakitan.
"Abang! Botolnya jangan dilempar-lempar gitu," tegur Rani. "Nanti kalau botolnya bocor Abang mau minum susu pake apa? Liat tuh papanya jadi nangis."
Ari mematung melihat papanya meringis. Dia menoleh pada Rani kemudian mengedikan bahu dengan bibir mencebik menahan tangis. "Papa nakal," ujarnya dengan suara bergetar.
"Ambil lagi botolnya!"
"Gak mau."
"Ambil dulu," perintah Rani saat Ari malah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Ayok ambil dulu botolnya. Kalau gak mau ambil, Abang jangan minum susu lagi."
Bibir Ari semakin mencebik karena ancaman itu. Dhika yang duduk di depannya sampai dibuat gemas karenanya.
"Nih." Dhika berinisiatif menyerahkan botol susu itu pada Ari. "Ambil nih, kasihin mama."
"Ambil, Bang."
Ari menurut lagi. Mengambil botol susunya dengan gerakan cepat.
"Good boy." Rani tersenyum. "Minta maaf juga dong sama papa."
Meski dengan gerakan malas, tapi Ari menurut. "Papa maapin," ucapnya sambil menatap Rani.
"Minta maafnya ke Papa tapi liatnya malah ke mama." Dhika memprotes, tapi tak urung dia tersenyum. "Peluk dulu dong."
"Nanti galak," celetuk Ari sambil memeluk leher Dhika erat.
Dhika tertawa. "Emang mama galak, ya, Bang?"
Ari mengangguk.
Rani langsung mengangkat alis. "Mama tuh bukannya galak. Mama tuh cuman gak suka kalau Abang lempar-lempar barang kaya gitu. Mending ngelemparnya ke papa, kalau ke orang lain? Abang bisa-bisa dimarahin."
Ari diam. Tangannya semakin erat memeluk leher Dhika. "Tuh galak," adunya.
Dhika tergelak. "Susah sih ngasih tahunya, dia belum bisa bedain mana nasehat dan mana marah-marah."
"Maksudnya Mama tuh gini lo, Nak." Rani berdiri kemudian mendekati suaminya. Dia duduk di depannya, meminta Ari melepas pelukannya. Tapi anak itu bergeming. "Abang kalau marah-marah jangan lempar-lempar, nanti kalau kena orang lain, Abangnya digalakin."
"Hah?" Akhirnya Ari mau mengurai pelukannya lalu berpindah duduk di pangkuan Rani. "Kalau lempal nanti galakin ya, Ma?"
"Iya. Nanti Abang digalakin."
Ari mengangguk.
"Ngerti gak?" tanya Dhika, gemas.
"Iya."
"Apa?"
"Galakin."
"Kalau apa?" tanya Dhika lagi.
"Lempal."
"Lempar apa?" Dhika masih gemas.
"Lempal itu."
"Itu apa?"
Pletak.
"Aww!" Dhika meringis.
Botol susu kosong itu beradu dengan sikut Dhika. Karena ditanyai terus-terusan akhirnya Ari merasa kesal. "Nanya-nanya aja!" ujarnya.
Rani terkekeh melihat Dhika mengaduh. "Kalau itu gak termasuk kesalahan Abang lho, ya. Itu murni kesalahan kamu aja yang kelewat iseng."
"Sakit tau," adu Dhika dengan wajah memelas.
"Cengeng-cengeng." Ari mencibir. Matanya menatap tajam pada Dhika.
"Abang udah berani ngeledekin papa?" Mata Dhika melotot. Sejurus kemudian dia mengambil Ari dari pangkuan Rani lalu memeluknya erat hingga Ari memekik. "Ngomong apa, hah?"
"Cengeng-cengeng," ucap Ari di sela tawanya karena sekarang Dhika menggelitiknya.
"Enak aja, Abang tuh yang cengeng."
"Papa cengeng."
"Abang."
"Papa."
"Abaaannnggg."
"Papaaaaaaaaaaa."
"Berantem, baikan, berantem lagi. Kalau udah gini pasti langsung dicuekin." Rani bergumam sendiri lalu mengembuskan napas. Suaminya dan Ari sama saja, kalau sudah bercanda seperti itu, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Yang lain ngontrak termasuk dirinya.
-18.04.08-
Sekali-kali mam's Ran sama si pap's Dhik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby boy
Short Story(Sebagian diprivat) Amazing and cute cover by Syabilladhani @indievidu ?? What's wrong? side story.