Adiwangsa.

28.6K 1.3K 30
                                    

"Mama … ih papanya pulangnya lama." Ari, bocah yang matanya sudah hampir terpejam itu merengek sambil memukul-mukul pelan perempuan yang sedang memangkunya. "Pulangnya cepet-cepet aja."

"Bentar lagi papanya nyampe." Sambil terus menepuk pelan dada Ari, Rani menenangkan. Sesekali bibirnya bergerak melantunkan dzikir sebagai pengantar tidur anaknya itu. "Jalan pulangnya macet."

"Lama, lama." Kendati sudah sangat mengantuk, Ari masih bisa membalas ucapan Rani. "Langitnya udah gelap."

"Makanya Abang bobo. Moli sama Ceci aja udah bobo."

"Mau tunggu papa aja," sentak Ari dengan mata terpejam, membuat Rani yang melihatnya langsung tersenyum. "Pulangnya lama-lama," lanjut anak itu pelan.

Rani memilih tidak menyahuti dan terus menepuk pelan dada anaknya itu. Setelah dirasa Ari benar-benar sudah terlelap, Rani pun segera memindahkannya ke ranjang dan ikut berbaring di sampingnya sambil menunggu suaminya pulang
menjemput mertua dan adik iparnya dari bandara.

Ari sengaja tidak diberitahu tentang kabar tersebut. Anak itu dibiarkan tetap menyangka jika Dhika masih berada di bengkel ataupun terjebak macet. Sebab jika sampai diberitahu, sudah bisa dipastikan anak itu akan langsung merengek heboh minta ikut.

Dan lagipula, Adiwangsa dan Fatima, kakek-neneknya memang sengaja ingin membuat kejutan untuk Ari. Mereka sengaja meminta Rani dan Dhika untuk tidak memberitahukan jika mereka akan kembali ke Indonesia secepatnya, demi untuk bisa melihat bagaimana ekspresi cucunya itu ketika tiba-tiba melihat mereka ada di rumah.

***

Azan shubuh terdengar berkumandang dari mesjid yang tak begitu jauh dari rumah. Seperti biasanya, usai berwudhu Dhika langsung bergerak naik ke ranjang hanya untuk membangunkan anaknya yang masih terlelap.

"Abang." Ari tampak tak terusik sedikitpun, walau Dhika sudah berbisik dan menciumi pipinya. "Abang, udah azan," ucap Dhika lagi.

Ari menggeliat seraya bergumam tidak jelas. Kedua tangan kecilnya bergerak mengusap pipi yang diciumi Dhika. Kemudian kembali terlelap dengan bibir yang mengerucut lantaran tertindih tangannya sendiri.

Dhika terkikik, lalu berbisik lagi, "Abang bangun, mau ikut Papa salat ke mesjid gak?"

Dalam tidurnya Ari tersenyum, entah mengiakan ajakan Dhika atau anak itu sedang bermimpi indah.

"Abang ayo." Dhika tersenyum, sedikit mengeraskan suaranya seraya mengangkat tangan Ari. "Kalau gak bangun-bangun, Papa tinggal ya?"

"Sik," gumam Ari tak jelas.

"Ayo bangun, kita ke mesjid."

"Gak."

"Ya udah Papa tinggal." Dhika bergerak ke pinggir ranjang. Bersamaan dengan itu pintu kamar dibuka Rani dari luar. Perempuan itu langsung bertanya kenapa sambil menyimpan botol susu Ari ke atas nakas.

"Aku bangunin, tapi gak mau," jawab Dhika, turun dari ranjang lalu mengambil kain sarung yang tersampir di kursi yang sudah disiapkan istrinya. "Papi sama Ditya udah bangun?" tanyanya kemudian.

"Papi lagi ngeteh di dapur sama Mami sambil nungguin kamu. Kalau Ditya masih tidur."

Mata Dhika membola. "Kerajinan banget jam segini udah ngeteh."

"Bukan mereka yang kerajinan, emang kamunya aja yang lelet," kata Rani sambil naik ke ranjang lalu memeluk dan menciumi Ari. "Abang, kata papa mau ikut salat ke mesjid gak?"

"Mama ih." Ari menyentak seraya menjauhkan wajah Rani dari wajahnya. Tapi bukannya membuat sang mama menjauh, itu malah semakin membuatnya dihujani banyak ciuman. "Gak mau."

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang