Dilema Ditya.

28.8K 1.4K 105
                                    

"Ran, Ari belum pulang juga?" tanya Fatima pada Rani sambil berjalan menjinjing tas. Perempuan itu sudah berdandan rapi bersiap pergi.

"Belum, Mi. Kayaknya masih main di taman sebelah rumah Pak Gatot sama anak-anak," jawab Rani, menghentikan sejenak pekerjaannya memisahkan pakaian dalam dan pakaian yang akan diseterika. "Mami mau pergi sekarang?"

"Iya. Tadinya pengin ajak Ari. Kata Papi sekalian ajak dia jalan-jalan. Tapi kalau lagi main gitu terus diganggu takut nangis juga entarnya."

Kedua sudut bibir Rani tertarik. "Iya juga sih, Mi. Dibujuk pulang juga biasanya susah kalau lagi main gitu."

"Tapi nanti nanyain gak? Soalnya 'kan tadi pagi dijanjiin mau diajak jalan-jalan."

"Kayaknya nanyain, tapi bisa juga dia lupa. Soalnya tadi pagi sama Ditya juga dijanjiin mau jalan-jalan."

Fatima menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu Mami berangkat sekarang aja deh. Nunggu Ari takut keburu sore, tahu sendiri kan sekarang kalau sore itu pasti hujan."

"Iya, Mi. Nanti aku bilangin aja kalau dia nanyain. Tapi ngomong-ngomong Papi-nya mana?" Rani celingukan mencari keberadaan sang ayah mertua.

"Papi udah nunggu di luar. Tadi pas kamu sibuk angkat jemuran," jelas Fatima seraya menghampiri Rani lalu menepuk pundak menantunya tersebut. "Mami pergi dulu, ya?"

"Iya, Mi. Hati-hati," pesan Rani.

Fatima pun berjalan ke luar. Sementara Rani kembali pada kesibukannya memisahkan pakaian. Lalu membawa pakaian itu ke ruang keluarga.

Berselang setengah jam dari kepergian Fatima. Di luar terdengar suara gaduh anak-anak, tidak lama kemudian pintu rumah juga terdengar diketuk. "Tante, Tante!"

Rani beranjak dari duduknya, berjalan ke ruang tamu untuk membukakan pintu. "Lho Mas Pandu," ucapnya sambil melirik Ari yang sedang terisak, dirangkul Pandu. "Kenapa?" tanyanya.

"Itu. Kita kan mau main sepedanya ke lapangan. Ari mau ikut, tapi kita gak mau ajak soalnya gak ada yang jagain."  Pandu, si bocah berusia 10 tahun itu menjelaskan pada Rani sambil mengusap pundak Ari. "Alif juga tadi aku suruh pulang."

Rani tersenyum. Perempuan itu kemudian berjongkok menyamakan tingginya dengan Ari, lalu membawa anak itu ke dekatnya. "Iya, Mas gak apa-apa," ucapnya sambil menyentuh lengan Pandu. "Makasih ya udah anterin Ari."

Pandu mengangguk seraya mengacungkan ibu jari. "Oke Tante. Sepedanya Ari nanti di anterin sama Dewa, ya? Tapi sekarang dia anterin dulu sepedanya Alif. Paling lima menitan lagi."

Rani mengangguk sambil tersenyum pada Pandu yang bicaranya seperti orang dewasa. "Iya, gak apa-apa."

Pandu kini beralih pada Ari. Dia membungkuk kemudian membelai pipi Ari sambil berkata, "Ari mainnya di rumah dulu ya sama Mamanya Ari. Besok-besok kalau gak ujan Mas Pandu ajak main ke taman lagi. Main sepeda lagi. Sekarang Mas Pandu punya misi dulu sama Mas Dewa. Kita mau balap di lapangan. Ari doa-in Mas Pandu sama Mas Dewa menang ya?"

"Iya." Itu Rani yang menjawab sambil tertawa. Lama-lama dia tidak tahan juga menghadapi ke-sok-dewasaan pandu. "Mas Pandu. Tante sama Ari doain supaya menang ya?"

"Makasih Tante. Kalau menang misi kali ini, hadiahnya lumayan."

"Emang hadiahnya apa?"

"Gambar-gambar Transformers."

"Oh." Mulut Rani membulat sempurna.

"Nanti Abang kasih gak?" tanya Ari sambil terisak. "Gambal pomel-nya?"

Pandu mengangguk dengan semangat. "Iya. Asal Ari jangan nangis."

Ari ikut mengangguk. Setelah Pandu berpamitan, dia pun digendong Rani untuk masuk ke dalam rumah.

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang