Oh Papa ...

27.2K 1.4K 59
                                    

Jam sudah menunjuk angka sebelas saat Dhika keluar dari kamar sambil membawa laptop dan satu buah map menuju ruang keluarga. Malam ini dia harus menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda tadi siang karena harus menjaga Ari selama istrinya berobat dan beristirahat.

Sekarang, mumpung Ari sudah tidur dengan omanya, jadi Dhika tidak ingin membuang kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya. Karena jika anaknya itu masih terjaga, maka ia akan kesulitan untuk konsentrasi dan fokus. Ari sudah pasti akan menempel dan mengganggunya.

Dhika menyimpan laptopnya di atas meja, kemudian menyalakan televisi dengan volume yang kecil. Setelah itu ia beranjak ke dapur, menyeduh kopi hitam favoritnya.

Baru saja Dhika duduk bersila di atas sofa bersiap membuka laptop dan mengeluarkan berkas dari map-nya, ketika pintu kamar bergambar jerapah di samping kanannya berdecit, dibuka perlahan dari dalam.

Kening Dhika langsung berkerut ketika matanya menangkap sosok Ari muncul dari balik pintu sambil mengucek mata, berjalan pelan dan agak sempoyongan.

"Lho, kok bangun?" Dhika sontak berdiri kemudian menghampiri Ari. "Kenapa?" tanyanya sambil menggendong anak itu.

"Mau Mama." Ari merengek dengan suara parau. Menunjuk-nunjuk pintu kamar orangtuanya.

Dhika menurut, membawa anak itu menuju kamarnya. "Mau bobo di sini?" tanyanya lagi saat sudah memegang kenop pintu.

Ari tidak langsung menjawab, matanya melihat bergantian antara pintu dan wajah papanya sebelum akhirnya menggeleng. Tangannya memegang erat leher Dhika. "Mau Papa aja."

"Tidur di sininya sama Papa?"

Ari menggeleng.

"Terus?"

"Mau pipis," kata Ari sambil memegang celananya.

"Mau pipis? Abang 'kan udah pake popok, pipis aja di situ."

"Gak mau ...." Ari menjenggut gemas rambutnya sendiri. "Celananya buka!"

Dhika berdecak. "Gak usah, Abang pipis aja. Nanti popoknya Papa ganti."

"Gak mau ...." Gigi Ari bergemelatuk. Merasa kesal sendiri pada Papanya. "Celananya buka aja!" pintanya sambil merengek.

"Ya udah - ya udah." Dhika menyerah, lantas membawa anaknya itu ke toilet.

Sekembalinya dari toilet, Dhika pikir anaknya itu akan melanjutkan tidur  lagi. Tapi  nyatanya Ari malah tidak mau ketika diajak ke kamarnya ataupun ke kamar Rani. Anak itu malah semakin erat memeluk lehernya.

"Papa kelja?" tanyanya, saat Dhika memangkunya duduk di sofa sambil membuka laptop. Mata beningnya terlihat segar tanpa ada jejak kantuk sedikitpun.

"Iya, Abang temenin ya?"

Ari mengangguk. "Lama gak?"

"Nggak. Tapi kalau Abang ngantuk, terus pengin bobo, bobo aja." Dengan sebelah tangannya, Dhika mengusap kepala Ari.

"Nanti Abang kelja juga ya?"

"Iya, nanti kalau Abang udah besar."

"Kaya Papa?"

"Iya."

"Uangnya banyak, ya?"

"Iya."

Setelahnya Ari tidak bertanya lagi, matanya menatap fokus pada layar laptop meskipun dia sangat tidak mengerti pada apa yang terpampang di sana.

Dhika pun begitu, dia mulai sibuk menyalin data dari berkas yang dibawanya. Untuk beberapa menit, tidak ada percakapan antara Dhika dan Ari. Sebelum akhirnya terdengar bunyi sesuatu yang mengusik keheningan itu.

Dhika menolehkan wajah. "Abang lapar?"

Ari mengangguk sambil memandangi perutnya. "Mau makan sosis," celetuknya.

"Masa jam segini mau makan sosis? Makan nasi pake sayur aja, ya? Kalau sosis harus digoreng dulu, ribet."

"Tapi pelutnya mau makan sosis. Katanya sosisnya enaaakkk ...." Ari menatap penuh harap pada papanya.

"Emang perutnya bisa ngomong gitu?"

Ari mengangguk.

"Makan nasi aja biar kenyang---"

"Papa ... pis."

"Iya, iya, iya. Tapi Abang pake celana dulu," kata Dhika.

"Gak mau ... pake papes aja," ujarnya, tersenyum melihat tubuh bagian bawahnya hanya dibalut popok saja.

Kalau bisa, ingin rasanya Dhika menggeram dan mengomel. Tapi saat melihat wajah polos tak berdosa di depannya memelas, hasrat itu menguap begitu saja.

Dhika mendudukan Ari di atas meja, sementara dirinya menyiapkan perlengkapan untuk menggoreng sosis. Meskipun dirinya tidak bisa memasak, tapi demi anaknya, ia akan berusaha. Lagi pula, hanya menggoreng sosis bukan?

"Papa sosisnya potong dulu, gini-gini." Ari menggerakan tangan layaknya sedang memotong. "Pake piso."

"Iyalah pake pisau, masa pake dongkrak."

Ari terkikik, padahal itu tidak lucu sama sekali.

Setelah menyiapkan wajan, Dhika mengisinya dengan minyak lalu memasukan sosis yang sudah ia potong tadi ke dalam wajan tersebut.

"Papa ...."

"Apalagi?" tanya Dhika sambil membalikan sosisnya menggunakan spatula.

"Papa ...."

"Abang sabar dulu, bentar lagi sosisnya mateng."

"Papa pake apinya." Ari menunjuk-nunjuk kompor yang masih mati. Seingatnya jika mamanya sedang memasak, benda itu akan menyala, memunculkan api.

Dhika mengerjapkan mata. Sepertinya dia sudah melakukan kesalahan fatal di depan anaknya sendiri.

"Aduuuhhh ... Papa." Ari memekik sambil memukul kening.



-tbc-

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang