Beli papa-mama baru.

29.7K 1.4K 34
                                    

20.05

Ari mengerjap-ngerjapkan matanya ketika semilir angin yang berhembus pelan menyentuh kulit tengkuknya. Tangan kecilnya meraba-raba sisi kiri dan kanan kasurnya mencari mama dan papanya.

Ari menggeliat lalu membuka matanya. Alisnya terangkat ketika tidak mendapati dua orang yang biasanya menemaninya tidur, sekarang tidak ada. Bocah laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, tapi dia tidak mendapati kedua orang itu di sana.

Perlahan-lahan Ari melepas selimut bergambar sapi yang melilit di pinggangnya, tubuhnya bergerak mundur untuk bisa turun dari kasurnya. Tidak mau membuang waktu, Ari langsung berjalan cepat begitu kaki kecilnya menginjak lantai meski langkah itu masih belum seimbang.

Dengan sepenuh tenaga, Ari membuka pintu kamarnya yang terbuka sedikit agar ia bisa keluar. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri melihat suasana remang di ruang keluarga yang hanya di terangi oleh cahaya lampu pijar saja.

"Mama."

Ari tidak berani melangkah lebih jauh, dia berdiri di ambang pintu kamarnya. Suasana ruang keluarga yang sepi membuatnya takut, otaknya langsung memutar ingatan tentang monster-monster yang sering berkeliaran di kegelapan, membuat Ari bergidik seketika.

"Mama." Ari mulai memasukan jari telunjuknya ke dalam mulut, kebiasaannya saat merasa bingung.

Tiba-tiba, di tengah kebingungannya mencari keberadaan mama dan papanya, Ari melihat sedikit cahaya yang keluar dari celah pintu kamar orangtuanya. Menarik napas panjang, Ari mengambil ancang-ancang untuk berlari menuju kamar yang berada di sebrangnya.

"Mama!" Sambil meneriakan nama mamanya Ari lari terbirit-birit melewati ruang keluarga. Dadanya naik turun dalam tempo cepat, menyiapkan tenaga lagi untuk mendorong pintu kamar orangtuanya

Begitu pintu terbuka, Ari mematung sejenak. Dia melihat mamanya tengah merajuk, sambil memeluk tubuh papanya di atas kasur dalam posisi membelakanginya.

Karena merasa khawatir saat mendengar mamanya merajuk, Ari pun langsung berlari cepat ke arah ranjang melupakan niat ingin menangisnya. "Mama, kenapa?" tanyanya. Ini pertama kalinya ia mendengar mamanya seperti itu.

Dhika dan Rani yang baru menyadari kalau Ari masuk ke kamar langsung mengurai pelukannya masing-masing dengan raut wajah kaget.

"Lho, Abang kok bangun?" Rani lantas bangun dari tidurnya lalu mengangkat Ari ke atas ranjang.

"Gak mau sendilian," ucap Ari, "takut."

"Takut apa?" Dhika membawa tubuh Ari supaya berbaring di antara dia dan Rani. "Kalau cowok harus berani. Gak boleh takut-takut," ucapnya.

"Mama kenapa?" tanya Ari mengalihkan pembicaraan. "Mama nangis?" tanyanya lagi.

Rani mengangguk.

"Gak boleh cengeng!" Ari mengangkat tangan kanannya lantas ditempelkannya pada pipi Rani.

"Mama, pengin beli sepatu baru," ucap Rani, memelas seraya memeluk Ari, erat. "Tapi gak dikasih uangnya sama papa."

Dhika yang berbaring di sampingnya hanya mendengus pelan mendengar pengaduan istrinya tersebut.

"Papa pelit, gak mau ngasih uang buat beli sepatu Mama." Rani pura-pura terisak sambil mengeratkan pelukannya. "Gimana dong?"

Ari berpikir sejenak lantas merubah posisi tidurnya menjadi menyamping, membelakangi papanya.

"Mama ... jangan nangis," ujarnya dengan suara tercekat.

Mendengar itu, Rani bukannya menghentikan pura-pura menangisnya, dia malah semakin tersedu.

"Mama ... jangan nangis, ya," ucap Ari panik.

"Papanya pelit," ucap Rani.

"Mama jangan nangis. Nanti beli papa balu ya? Jangan papa yang itu, peliiit ...." ujar Ari, semangat.

Rani sontak mendongakan kepalanya lantas menoleh pada Dhika. Laki-laki itu sudah memasang wajah masam dengan sebelah alis terangkat.

"Ya udah, sana deh sana nyari papa baru," sungut Dhika lantas berbaring membelakangi anak dan istrinya.

"Ya, papa ngambek," bisik Rani, "Abang sih, pake ngomong beli papa baru."

"Hah?" Ari menatap mamanya tidak percaya. "Gak boleh?" tanyanya.

Rani menggeleng. "Minta maaf."

Ari menurut kemudian dia bangun lalu naik ke atas tubuh Dhika. Dipeluknya tubuh itu lalu diusapnya. "Papa maafin."

"Gak mau," sahut Dhika.

"Kenapa?" tanya Ari.

"Mama sama Abang nakal."

Ari merengut, dia tidak suka disebut seperti itu. "Yang nakal itu mama," tuduhnya, membuat Rani melotot. "Nanti beli mama balu ya?"

Dhika tergelak kemudian terbahak. Sedangkan Rani langsung cemberut.

"Abang ... kok tega sih? Sama mama?" Rani bangun dari tidurnya lantas ikut duduk di atas tubuh Dhika. Memeluk Ari dengan agresif membuat anak itu berontak sekaligus membuat Dhika memekik.

"Astaghfirullah ... abis ini panggil tukang urut ke rumah!" Dhika tidak bisa berkutik ketika tubuhnya menjadi alas pergulatan antara istri dan anaknya.

17.12.13

13

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang