Lawan terkuat.

27.9K 1.4K 38
                                    

"Bang, sini coba." Dhika memberi isyarat melalui tangannya, menepuk-nepuk permukaan kasur meminta perhatian dari anaknya yang tampak serius dan sibuk membuka-buka majalah otomotif miliknya. Seolah-olah anak itu sudah paham akan isi majalah tersebut. "Duduknya pindah sini. Papa mau nyuruh."

"Apa?" tanya Ari, sembari merangkak mendekati papanya yang tengah berbaring. "Papa mau apa?"

"Ini nenek nelpon," ucap Dhika. Memperlihatkan nama 'Mami' tertera di layar ponselnya yang sedang menyala kepada Ari. "Abang mau ngomong gak?" tanyanya.

Ari mengangguk antusias. Lalu berdiri kemudian meloncat-loncat di atas kasur hingga membuat majalah yang dipegangnya terlempar ke lantai.

"Abang! Majalahnya jangan dilempar-lempar. Papa 'kan belum baca," pekik Dhika, memprotes kelakuan anaknya. Dengan sangat terpaksa dia pun bangun lalu mengambil majalah tersebut.

"Jangan ambil," ucap Ari, "Itu bukunya jelek! Banyak tante ceweknya," lanjutnya sambil mengibaskan tangan tidak suka.

Dhika menelan ludah. Yang sedang dibicarakan Ari itu pasti tentang beberapa model perempuan yang menghiasi majalahnya. Matanya melirik ke arah pintu yang tidak tertutup rapat untuk memastikan jika tidak ada orang yang sedang menguping di sana. Karena jika ada, sudah pasti ia akan sangat malu. Apalagi jika yang menguping itu adalah istrinya, sudah barang pasti majalah tersebut bukan hanya akan di lempar, tapi dirobek hingga ke bentuk terkecil lalu dibakar.

"PAPA!" Ari memekik kesal. Memukul-mukul punggung papanya yang sedang tengkurap mengambil majalah. "Nenek mana?" tanyanya, "Mau tepon Nenek."

"Iya sebentar." Dhika buru-buru mengambil majalahnya lalu disembunyikan di bawah bantal, sebelum menerima panggilan telepon dari ibunya dan menyerahkan ponsel tersebut pada Ari. "Abang ngomong," bisiknya, saat mendengar suara seseorang di seberang telepon.

Ari mengangguk. "Assalamualaikum ...." sapanya, semringah penuh semangat.

"Waalaikum salam ...." balas seorang laki-laki dari seberang telepon. "Abang ... ini Kakek."

"Kakek?" Kening Ari berkerut, bingung. Bukankah tadi papanya mengatakan jika yang menelepon itu neneknya, tapi kenapa yang berbicara malah kakeknya.

"Ada Nenek juga di sini."

Mata Ari terbelalak. Sontak tubuhnya berdiri lagi, lalu meloncat -loncat lagi di atas kasur. "Kakek ... Nenek ...." pekiknya kegirangan.

"Abang lagi apa, Sayang?"

Ari diam sebentar lalu duduk kembali di samping Dhika yang sudah bersiap menguping sebelum menjawab pertanyaan dari kakeknya. "Lagi baca-baca"

"Ih pinter, emang Abang bisa baca?"

Ari mengangguk. "Baca yang ada mobilnya, tlus ada tante ceweknya."

Dhika mendelik, pipinya terasa menghangat.

"Emang baca apaan sih?"

"Buku papa," sahut Ari dengan begitu polosnya. "Kakek tau gak?"

Sekarang Dhika meringis, melihat betapa jujur anaknya itu.

"Papanya sekarang di mana? Kakek mau bicara , boleh?"

Dhika menggeleng, sementara Ari mengangguk seolah-olah ia sedang berhadapan langsung dengan kakeknya tersebut.

"Nih." Ari memberikan ponsel yang dipegangnya pada Dhika dengan ekspresi tidak ikhlas.

Tangan Dhika mengibas. "Bilangin papanya lagi gak ada," bisiknya.

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang