kacamata oh kacamata

49.2K 1.8K 262
                                    

"Udah jajan langsung pulang ya, jangan main keluar lagi. Temenin Papa servis."

Ari hanya mengangguk-angguk saja menanggapi ucapan sang papa yang sedang menuntunnya pulang ke rumah. Usai drama dengan Bruno tadi, Ari menangis lumayan lama hingga membuatnya lelah, haus dan akhirnya jadi ingin jajan.

Entah karena Dhika yang kelewat baik atau karena lelaki itu memang sudah pusing mendengar Ari menangis meraung-raung, akhirnya Dhika mengajak Ari pergi ke toko kelontong tak jauh dari rumah ketimbang membawa anaknya itu pulang.

Sesampainya di toko yang dimiliki oleh Pak Haji itu, nyatanya bukan hanya minuman yang dibeli Ari, tapi juga makanan ringan dan beberapa bungkus permen bermacam jenis dengan jumlah lumayan banyak.

Beruntung Dhika tidak memprotes, papanya itu hanya mengiyakan saja dan membayar semua jajanan yang ingin dibeli Ari dengan senang hati.

"Ini Abang jajan sebanyak ini pasti dimarahin Mama nih." Dhika bersuara lagi sesampainya di rumah sambil mengayun-ayun kantong kresek jajanan Ari.

Mendengar itu, Ari menoleh. "Papa jangan bilang-bilang Mama," ucapnya.

Dhika tersenyum. "Gimana bisa Papa gak bilang-bilang kalau jajanannya sampai sekarung gini."

Ari diam. Di saat bersamaan Rani muncul dengan senyum mengembang, perempuan itu berjalan semangat menghampiri Ari.

"Abang ke mana aja? Mama cari-cari gak ada," ujarnya, dramatis, seakan-akan dia sudah mencari Ari ke seluruh penjuru dunia dan tak kunjung menemukan anaknya itu. Namun kemudian suaranya terdengar semakin dramatis ketika matanya menangkap kantung kresek hitam besar di tangan Dhika. "Itu apa?" tanyanya.

"Nih," jawab Dhika, singkat sambil melirik-lirik Ari.

Bibir Rani langsung mengerucut. Matanya lantas menatap Ari seraya memegang kedua pundak anaknya tersebut. "Itu yang dibawa Papa apaan?"

"Jajan," jawab Ari sambil mengangkat bahu, takut-takut. "Jajan sana Pak Aji."

"Jajan apa belanja? Kok banyak banget, kayak mau buka warung aja," ucap Rani. "Mending kalau semuanya di makan. Mama tuh pusing deh, jajanan di rumah sengaja distok tapi tetep aja Abang jajan ke warung."

Ari tersipu, kendati Rani berbicara dengan nada lembut tapi dia tahu jika mamanya sudah mengucapkan kalimat, "Mama tuh pusing." Berarti mamanya itu sedang marah.

"Yang penting 'kan gak tiap hari," sahut Dhika, membuat ia langsung dihadiahi tatapan tajam oleh Rani.

"Emang gak tiap hari, tapi tiap ada kamu," balas Rani kesal, lantaran suaminya itu susah sekali mengerem hasrat jajan Ari.

"Mama." Melihat papanya dipelototi, Ari buru-buru menyela. "Mama."

"Iya?" Nada bicara Rani seketika berubah.

"Mama 'kan Abang mau 'kan mau lumah Billa tlus ada Buno tuh tlus guk-guk-guk tlus Abang tuh nangis." Ari diam sebentar, menghela napas. "Abang tuh capek mau minum mau jajan aja."

"Terus Abang beli minum apa?"

"Beli minum macam-macam, dari yang bening sampai yang berwarna." Itu Dhika yang menyahuti.

Rani mengangguk paham, tapi kemudian perempuan itu menunjuk botol minum yang tersimpan di keranjang sepeda Ari. "Kalau mau main sepeda 'kan Abang suka bawa air minum. Kenapa gak minum itu aja?"

"Kan mau jajan aja, Mama."

Kali ini Rani mencebik. "Ngeles aja."

Dhika yang masih setia memegang lengan Ari pun tersenyum  seraya menyerahkan kantung kresek jajanan Ari pada Rani. "Ya udah kalau gitu, persidangannya kita tutup aja sampai di sini. Aku mau lanjut bersihin karburator."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 25, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang