gara-gara si putih.

26.2K 1.4K 85
                                    

Jam tujuh pagi setelah sarapan, seperti hari-hari sebelumnya Dhika mengajak Ari ke garasi untuk menemaninya memanaskan mesin mobil sambil mengajak anaknya itu mengobrol.

"Papa jangan bengkel." Ari menjatuhkan kepala di cerukan leher Dhika. Sementara tangannya memeluk leher papanya itu erat. "Mau main sepeda lagi."

"Hari ini mainnya sama Om Ditya aja dulu, ya. Nanti kalau Papa udah pulang kerja baru main sama Papa lagi."

"Gak mau, mau sama Papa aja."

"Lho kan sama aja. Lagian Papa kan udah dua hari gak ke bengkel, nanti kalau kelamaan gak ke bengkel bisa-bisa bengkelnya diambil orang."

Alis Ari bertaut. "Bengkelnya jangan lama-lama."

"Nggak. Nanti pas Abang bangun bobo siang Papa udah pulang."

"Jam lima ya, Pa?"

Dhika tersenyum. "Hari ini Papa mau pulang jam tiga aja."

"Ih lama, jam lima aja."

Kali ini Dhika tersenyum. "Tiga sama lima kan lebih lama lima, Bang. Pokoknya pas azan ashar, Papa udah di rumah lagi."

"Oh ajan." Ari manggut-manggut, kalau azan dia mengerti. "Papa?"

"Apa?"

"Pulangnya beli taltel gak?"

Dhika mengerenyit. "Taltel gimana?"

"Kayak io, kecil-kecil."

Bibir Dhika membulat. "Iya nanti Papa beliin. Tapi nanti kalau udah punya uang. Kalau sekarang Papanya belum punya uang," gurau Dhika.

Ari merengut. "Tapi mau sekalang aja."

"Kan belum ada uangnya, Nak."

"Minta aja." Ari mengangkat kepalanya. "Papa minta aja."

"Sama siapa? Sama Abang?"

Ari sontak mengangkat bahu. "Gak punya."

"Terus gimana dong? Harus minta siapa?"

"Mama aja," ucap Ari sambil tersenyum.

"Mama kan uangnya udah abis beli susunya Abang."

Ari memalingkan wajah. Dia kecewa, terlihat dari bibirnya yang mencebik.

"Ya terus gimana lagi. Abang harus sabar dulu."

Bahu Ari bergerak lagi. Kepalanya menggeleng namun dengan posisi wajah yang enggan untuk melihat papanya.

"Minta aja."

"Sama siapa?" Dhika semakin gencar meluncurkan serangan. Baginya menggoda Ari sampai hampir menangis seperti sekarang adalah kesenangan dan kepuasan. "Sama siapa?"

"Sama itu. Sama ---." Ari menghela napas. "Kakek aja."

Bola mata Dhika bergulir. "Ide yang bagus. Tapi Abang yang mintanya, ya? Nanti kalau ditanya mau berapa, Abang bilang mau yang merah-merah yang banyak. Terus bilangin kalau Papa sama mama uangnya abis buat beli susu."

Ari menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Setelah itu Dhika pun segera membawa Ari masuk ke dalam rumah. Lalu menurunkan anaknya tepat di depan pintu kamar yang beberapa hari terakhir ditempati oleh orangtuanya. "Abang bilang assalamualaikum dulu, terus tunggu kakek jawab. Nanti kalau udah ada jawaban dari dalam, Abang dorong pintunya." Sambil merapikan rambut Ari, Dhika memberi wejangan. "Ok?"

"Pakai patat?"

"Iya dorongnya pakai pantat."

"Heeh, Papa tungguin. Papa tungguin sini aja." Ari menghentakkan kakinya. "Sini aja, sini."

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang