"Papa-Papa-Papa." Dari ruang keluarga Ari berlari kecil ke arah Dhika yang sedang menyantap sarapan ditemani Rani.
"Kenapa, Bang?" Itu Rani yang menyahuti, sedangkan Dhika masih sibuk mengunyah lontong sayurnya. "Kenap-a?"
Sejenak, Rani juga Dhika terperangah, sedetik berselang mereka terbahak lantaran melihat penampilan Ari. Sampai-sampai Dhika tersedak oleh kuah sayur yang sedang dimakannya.
Mengenakan kacamata, sweater juga sepatu. Ari berdiri sambil mendongak. Menatap orangtuanya.
"Abang mau ke mana sih? Pagi-pagi udah keren aja." Rani menahan tangan Ari saat anak itu akan mendekati Dhika. "Mentang-mentang udah bisa pakai sepatu sendiri, di rumah juga pakai sepatu terus."
"Mama, ngomongnya mau sama papa, ih. Bukan sama Mama." Ari memprotes sambil mengibaskan tangan. Menatap papanya yang sedang melanjutkan makan. Tidak memedulikan Rani yang merengut karenanya.
"Sakit banget, Bang." Rani mengusap dada. "Ngomong sama Mama juga 'kan sama aja, Bang."
"Maunya sama papa." Ari tersenyum pada Dhika sembari mengelus-elus kaki papanya itu. "Papa ...."
"Jangan mau, Pa, jangan mau. Giliran ada maunya aja sayang-sayang sama papanya." Rani memanas-manasi.
"Papa ...."
Dhika mengunyah cepat sambil menggeser mangkuk bekas lontong sayurnya. "Kenapa sih, Nak?" tanyanya, lalu mengangkat Ari ke pangkuannya. "Aduh, anak Papa kok makin berat aja sih?"
"Kan makannya banyak, minum susunya banyak, jajannya juga banyak." Rani menyahuti seraya tersenyum hangat ke arah bocah yang sedang duduk nyaman di pangkuan suaminya itu.
"Papa." Ari tidak menggubris, matanya menatap lurus wajah papanya yang sudah bersih, tidak lagi ditumbuhi janggut dan kumis seperti kemarin-kemarin. "Papa, mau bengkel?" tanyanya kemudian.
"Iya. Papa 'kan mau kerja," jawab Dhika seraya membelai pipi dan merapikan rambut Ari. "Emang kenapa?"
"Jangan kelja." Ari bergumam, sambil sibuk mendorong-dorong mobil mainan di dada papanya yang sudah berbalut dasi juga jas hitam.
"Kenapa? Tumben Abang protes." Sontak Dhika menoleh pada Rani yang kebetulan sedang menatapnya juga.
"Kayanya Abang lagi ngedemo, gara-gara Kemaren gak diajak ke Surabaya," tanya Rani.
Ari menoleh, dahinya berkerut, menatap bingung pada Rani, dia tidak mengerti apa itu demo mendemo. Yang dia tahu, sekarang dia sedang melarang papanya untuk pergi bekerja dan pergi ke mana-mana.
Beberapa minggu terakhir, Dhika memang sedang sibuk pulang pergi ke luar kota untuk menyurvei lokasi pembangunan cabang bengkelnya, terkadang meeting dengan rekan bisnisnya ataupun menghadiri beberapa acara yang berkaitan dengan usahanya. Sehingga beberapa minggu ke belakang ini, dia jarang tinggal di rumah dan akhirnya berimbas pada intensitas pertemuan mereka yang ikut berkurang.
Dulu, biasanya Dhika selalu mengikut sertakan Rani dan Ari dalam perjalanan bisnisnya ke manapun sekaligus untuk berlibur, tapi berhubung sekarang Ari selalu rewel kalau diajak menempuh perjalanan lama apalagi macet jadilah Dhika terpaksa pergi sendiri.
"Papa ...."
"Apa?"
"Mau ikut aja, Papa kelja." Ari merengek.
"Nggak ah." Rani langsung melarang. "Kalau ikut, Abang mau nunggu sama siapa? Papanya 'kan mau meeting dulu."
"Abang tunggu di rumah aja. Nanti kalau Papa udah gak sibuk main ke bengkelnya," bujuk Dhika.
Ari mengedikan bahu.
"Kalau ikut sekarang, nanti Abang dititipin sama tante cewek terus dicium-ciumin pipinya. Ih, takut ...." Rani bergidik ngeri sambil menahan senyum lantaran mengingat Ari yang kerap histeris tiap kali dicium pipi oleh sekretaris suaminya.
Ari menoleh sambil menunjuk bibirnya. "Yang ininya bedalah."
Ari termenung, mata dan telinganya fokus memperhatikan mamanya yang sedang berbicara.
"Masih mau ikut gak?" tanya Rani memastikan.
Ari berpikir sejenak, keningnya mengerut dalam. "Tapi mau jajan aja."
Rani mencibir. "Dari tadi kek ngomong mau jajan."
"Nah, mending jajan aja," kata Dhika.
"Tapi mau sama Papa."
"Papanya 'kan mau berangkat sekarang," ucap Dhika sambil melihat jam di tangannya. Rencananya pagi ini dia harus bertemu dan membahas sesuatu dengan presiden salah satu perusahaan minyak pelumas. Yang intinya sangat penting. "Sama mama aja, ya?"
"Gak mau." Ari merengek seraya memukul-mukuli lengan papanya.
"Abang ...." tegur Rani.
"Papa ih." Tubuh Ari melonjak-lonjak di pangkuan Dhika hingga kacamatanya terlepas. "Papa ... pis."
"Limabelas menit lagi, Papa berangkat."
"PAPA PIS ...."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
- tbc-
Wkekekk. Kira-kira Dhika bakal milih kerjaannya apa Ari? (So ngedrama 😂) lanjut ntar