Percayalah.

24.6K 1.6K 193
                                    




"Nana, Billa, lagi main apa sih?"

Sambil berdiri bersandar pada pagar rumah, Zahra, uminya Alif  menyapa dua gadis kecil yang sedang sibuk menggendong boneka sambil bermain masak-masakan di pekarangan rumah Pak RW, kakeknya Billa.

Sementara itu, di belakang Zahra dua bocah lelaki berdiri berdampingan dan masing-masing menuntun sepeda roda tiga.

"Lagi main ibu-ibuan sama Biia," jawab Hana sambil menaruh wajan plastik berwarna pink ke atas kompor yang juga terbuat dari plastik.

"Boleh gak kalau Kakak Alif sama Abang Ari ikutan?"

Hana tidak segera menjawab, gadis berambut panjang itu menatap Billa sejenak, meminta jawaban.

"Boleh, tapi jangan nakal. Jangan kayak kemarin bayinya Billa sama Nana dibasahin," sahut Bela sambil menghampiri Zahra.

Zahra tersenyum. "Oke," ujarnya. Perempuan berhijab itu kemudian berbalik badan, menatap Alif dan Ari bergantian. "Katanya boleh. Tapi jangan nakal kayak kemarin."

Alif buru-buru mengangguk, berbeda dengan Ari yang hanya diam sambil menatap dua gadis kecil di depannya. Kalau saja Mas Padu dan Mas Dewa-nya tidak sedang sibuk dengan teman-teman anak besarnya, dia pasti akan menolak jika disuruh bermain dengan anak-anak perempuan itu. Membosankan, dan terlalu banyak aturan.

"Abang mau gak?" tanya Zahra.

Ari mendongak, kemudian mengangguk. "Tapinya Abang bilang dulu sama Mama, ya?"

"Gak usah. Nanti biar Tante umi aja yang bilangin ke mamanya Abang."

Ari menggelengkan kepala. "Abang mau bilang dulu sama Mama, boleh gak gitu? Nanti Abang sini lagi, ya?" ucapnya.

Ari pun pergi meninggalkan Zahra dan Alif sambil menuntun sepedanya ke rumah. Kata mamanya, dia harus bilang dulu mau main di mana dan dengan siapa kalau misalnya tidak jadi main dengan Pandu maupun Dewa.

"Mama, Mama," teriak Ari setibanya di depan rumah. Menyimpan sepedanya di dekat teras kemudian bocah itu berlari dan memilih berdiri di gerbang rumah lantaran takut tidak diperbolehkan keluar lagi oleh sang papa yang kebetulan sedang libur kerja.

"Apa, Bang?" Dhika muncul dari dalam rumah kemudian sedikit tergesa-gesa menghampiri sepeda Ari. "Ini kenapa disimpan di sini?" tanyanya terheran-heran sambil melirik si pemilik sepeda yang justru berdiri di gerbang.

"Mama mana?" Ari balik bertanya.

"Mama lagi mandi," jawab Dhika. "Abang ngapain diem di situ? Ayok masuk. Bawa sepedanya ke garasi."

"Gak mau. Kan mau main sana sama cewek-cewek sama Alif," balas Ari sambil menatap Dhika takut-takut.

"Kenapa jadi main sama cewek-cewek? Emang Mas Pandu sama Mas Dewa-nya ke mana?" Dhika lalu beranjak menghampiri Ari.

"Main sama anak besal sana, jauh." Ari mundur selangkah takut-takut Dhika mengangkat paksa tubuhnya.

"Oh." Dhika mengangguk paham sambil mengulurkan tangan. "Kalau mereka gak ada mending Abang gak usah main aja. Temenin Papa servis di dalam."

Ari mengangkat bahu. "Gak mau. Nanti item-item tangannya. Nanti Mama galak. Mau main sama cewek-cewek aja."

"Emang mainnya di mana?" tanya Dhika.

"Sana." Ari menunjuk asal ke arah barat. "Lumah Billa."

Dhika mengangguk lagi.

"Nanti bilangin Mama gak?" tanya Ari.

Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang