Obat sakit gigi Rani.

26.3K 1.3K 21
                                    


Rani baru saja selesai berganti pakaian saat Ari masuk ke dalam kamarnya sambil tersenyum. "Eh ... Abang, dari mana aja? Mama cari-cari ke kamar  gak ada, cari-cari ke belakang gak ada juga," ucap Rani sambil merentangkan tangan membawa anaknya ke pelukan, lalu menciuminya.

"Abang main ke jauh. Sama Papa." Ari menunjuk tak tentu arah ke jendela kamar. Menceritakan dirinya yang dijemput sang papa untuk berjalan-jalan.

"Ke jauh itu, ke mana sih, Bang?" goda Rani. Membuat Ari langsung mengerutkan dahi.

"Ke jauh beli ini," katanya, menunjukan boneka kura-kura yang dipeluknya pada Rani.

"Wah ... bagus." Rani memuji sepenuh hati. "Papa beliin ini?"

"Iya. Mama, papa uangnya ada yang melah aja, gak ada yang putih-putih."

Rani tersenyum geli. "Oya? Banyak gak?"

"Nggak. Banyakan Mama, Mama uang putihnya banyak," seru Ari dengan penuh semangat. "Papa  gak banyak, gak punya uang."

"Kasihan ya gak punya uang yang putih?" Rani memelas.

"Iya." Ari mengangguk. "Mama, Mama sakit?" tanyanya, sambil mengusap rambut Rani.

Rani menggeleng. "Nggak."

"Tadi Mama pelgi doktel sama Oma."

"Abang kok tau? Tadi 'kan Abang pergi sama papa." Rani menautkan alis, pura-pura bingung. Padahal dia dan Dhika yang membuat skenario supaya Ari tidak ikut dengannya ke dokter gigi dengan cara membagi tugas. Sementara dia pergi bersama Sukma, Dhika membawa Ari jalan-jalan.

Ari berpikir sejenak, mencoba mengingat sesuatu. "Kan, malem kan Mama tepon Oma," ucapnya terbata-bata.

"Oh iya." Rani meringis. Dia lupa kalau semalam Ari masih duduk di sampingnya saat sedang menelepon Sukma.

"Mama?"

"Apa?"

Ari menarik napas dalam-dalam kemudian memeluk leher Rani, erat. "Mama jangan sakit," bisiknya, malu-malu.

Pipi rani bersemu merah, hatinya ikut menghangat mendengar kalimat singkat namun sangat manis itu. "Mama gak sakit kok, Sayang," ucapnya sambil memangku tubuh Ari ke atas kasur. Membaringkan anak itu di sampingnya.

"Mama, kalo Mama sakit, Abang gak boleh blantakin mainan, ya?"

Rani mengangguk.

"Gak boleh nangis juga?"

Rani mengangguk lagi.

"Kalau minum susu boleh?"

"Boleh dong. Kalau Abang mau minum susu, nanti Mama buatin."

"Mama---" Ari langsung mengatupkan mulutnya ketika mendengar pintu kamar terbuka, menampakan papanya.

"Hayo ... lagi ngomongin Papa, ya?" Dhika berjalan cepat menuju kasur. Membaringkan tubuhnya di samping Ari kemudian memeluk anak itu agresif, membuat yang dipeluknya bergerak tidak nyaman dan memberontak. "Abang kenapa sih sekarang kalau dipeluk Papa gak mau diem?"

Ari mengangkat bahu.

"Kamu sih meluknya kenceng banget," protes Rani.

"Abisnya aku gemes liat badan dia makin gempal gini." Dhika mencubit-cubit pelan lengan Ari yang berbalut sweater hitam.

"Kaya Papa ya?" celetuk Ari seraya bangun dari tidurnya, meletakan boneka kura-kuranya begitu saja. "Tangannya besal." Ari mengangkat sebelah tangannya, berpose layaknya seorang binaragawan yang sering dia lihat di televisi.

"Nggak ah." Dhika menggeleng. "Abang gak kaya Papa."

"Kalau Papa perutnya sixpack, nah kalau Abang perutnya onepack." Rani ikut menimpali kemudian disambut tawa dari Dhika.

"Abang 'kan jagoan ya, Pa?" tanya Ari mencari pembelaan pada Dhika.

"Iya dong, Abang jagoan; jagoan jajan sama makan." Dhika terbahak. Membuat Rani yang sedang mengantuk ikut terkikik juga, terlebih saat melihat wajah datar Ari.

"Tapi Papa kalah cakep kok sama Abang," ucap Rani.

"Papa jelek ya, Ma?" tanya Ari dengan ekspresi polosnya.

"Enak aja, jelas Papa lebih ganteng." Dhika menunjuk dirinya sendiri.

"Aku!" Sentak Ari lalu turun dari ranjang.

"Mau ke mana?"

Ari tidak mejawab pertanyaan Rani. Kaki kecil  berbalut kaus kaki itu malah berjalan cepat ke arah meja rias kemudian mengambil sesuatu dari atasnya.

"Kaya papa." Ari berujar senang sambil tersenyum ke arah orangtuanya setelah sebelumnya ia mengenakan kacamata mainannya yang selalu dia simpan di sana, untuk meniru gaya Dhika.  "Kaya papa," ucapnya lagi.

"Nggak," ujar Rani mantap. "tetep Abang yang paling cakep."

"Iya deh iya. Iyain aja," gerutu Dhika, sambil menatap Ari. Tapi jauh dilubuk hatinya, ia setuju akan ucapan Rani.

"Abang ... Abang jangan cepet gede ya, Nak." Rani menopang dagu, memperhatikan tingkah anaknya yang sedang berdiri di depan cermin, tampak sangat menggemaskan. Membuat rasa sakit giginya lenyap seketika.

18.02.06

Ekspresi bapake mungkin kaya gini.

Ekspresi bapake mungkin kaya gini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Baby boyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang