Netra Irene masih enggan untuk menutup meski ia kini tengah berbaring di atas ranjang empuk dan jam dinding di kamarnya telah menunjukkan pukul dua dini hari. Cerita Sehun tentang kemunculan seorang gadis aneh yang memanggilnya 'paman' harus Irene dengar sampai selesai dengan sangat terpaksa selama 2 jam tadi. Telinganya masih terasa panas saat ini, seakan masih tak terima Sehun bercerita telah melewati satu hari bersama gadis lain.
Irene ingin marah. Irene ingin sekali menunjukkan ke-overprotektif-annya pada Sehun. Namun nyatanya, ia kembali menjadi Irene yang lemah di hadapan lelaki itu. Alasannya? Tentu saja ia takut. Ia takut Sehun pergi melepaskan tangannya dan ia tak bisa meraih genggaman lelaki itu lagi jika salah dalam bersikap sedikit saja.
"Ayolah! Apa yang kau khawatirkan Bae Irene?! Gadis itu hanya menumpang lewat di kehidupan Sehun, tidak lebih!" ucap Irene mencoba memberi sugesti positif pada dirinya sendiri.
Gadis bersurai pirang itu bangkit, bosan mengingat-ingat cerita sang kekasih. Maniknya bergerak menatap ke sekeliling, tak tahu harus melakukan apa di dini hari seperti sekarang ini. Hingga akhirnya pandangan itu tertuju ke arah tumpukan kado-kado yang baru ia dapatkan dari acara jumpa fans siang tadi.
Untuk menghabiskan waktu, Irene akhirnya memilih untuk membuka satu persatu kado dari penggemarnya. Tas bermerek terkenal, selimut mahal, jam tangan eksklusif, dan lain-lain, telah menjadi hadiah yang sangat membosankan untuk ia terima. Untunglah pada akhirnya, di tengah ketidak-sukaannya pada hadiah-hadiah serba biasa itu, Irene menemukan sebuah kotak kecil berisikan hadiah yang sepertinya tidak terlalu mahal namun meninggalkan kesan tersendiri. Sebuah kotak musik berwarna merah muda dengan peri kecil yang akan menari-nari mengikuti alunan nada lembut jika Irene memutar tuasnya.
'Kau pernah menjadi bidadari yang menari-nari cantik dengan tongkat ajaibmu. Sementara aku, hanyalah makhluk kerdil yang dengan lancangnya berani menatapmu dari kejauhan.'
"Siapapun yang menulis ini, dia pandai sekali menarik hati wanita." Irene mengusap dadanya yang berdegup kencang setelah membaca catatan kecil di kotak musik tersebut.
Langkah kaki Irene berhenti di depan sebuah lemari pajangan. Di antara sekian banyak kado yang ia terima, hanya kotak musik itulah yang ingin ia simpan. Entah sejak kapan, tapi pastinya sudah lama sekali ia menyukai hal-hal berbau negeri dongeng. Jadi tak aneh bila lemari pajangan di kamarnya penuh dengan pernak-pernik seperti miniatur rumah peri, tinker bell, dan mainan tongkat ajaib yang tak jauh dari warna favoritnya, merah muda.
"Masa kecilku yang telah kulupakan, seperti apa ya rasanya?"
Karena entah kenapa, semua ingatan masa kecil yang kedua orang tuanya coba tanamkan dalam memorinya, tak ada satupun yang berbekas. Semua ingatan itu... terasa hampa.
♥♥♥
Di dalam kamar kakak perempuan Baekhyun, Yena juga belum mau memejamkan matanya untuk terlelap dalam tidur. Yena takut jika hari yang telah ia lewati tadi hanyalah bagian dari mimpi di mana ia akan segera terbangun nantinya. Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam terlewati begitu saja dengan matanya yang masih kuat terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEVEN ELEVEN
Fiksi Penggemar[Sequel of 'BATHROOM'] Yena merasa hidupnya tidak akan pernah berjalan mulus jika orang-orang terus mengaitkan dirinya dengan masa lalu kelam sang ayah yang tak lain merupakan seorang pembunuh. Meski 14 tahun telah berlalu sejak sang ayah tercinta d...