Rasanya seperti mimpi. Bagi seorang Bae Irene, tiap detik yang ia lewati sejak Oh Sehun melamarnya kemarin masih terasa seperti sebuah mimpi; mimpi yang mana ia tak ingin terbangun darinya, mimpi indah berkepanjangan yang takkan pernah ingin ia akhiri. Sehun melamarnya. Sehun ingin bertanggung jawab pada cinta yang telah mereka rajut bersama selama ini. Sehun mencintainya.
Gadis pirang itu terus tersenyum layaknya orang kehilangan kewarasan sambil berguling-guling di atas kasur, membayangkan bahwasanya langit-langit yang ia tatap dan menaunginya dari terik matahari saat ini adalah wajah tampan sang kekasih. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk ke nomor ponsel pribadinya, menginterupsi kegiatan tak berguna yang telah ia lakukan selama berjam-jam lamanya itu.
“Halo?”
Kening gadis itu mengkerut seiring tak didapatinya suara siapapun dari seberang line telepon sana bahkan setelah beberapa detik berlalu.
“Halo? Ini siapa?”
“Aku suka mendengar suaramu,” ucap seorang lelaki di seberang sana. Suara yang terdengar cukup familiar di telinga Irene, namun Irene belum begitu mampu untuk menebak siapa orang dibalik suara khas tersebut.
“Ini siapa?” tanya Irene, lagi.
“Seseorang yang selalu ada di sisimu tanpa kau sadari,”
“Seseorang yang mungkin belum melekat kuat dalam ingatanmu,”
Hati Irene mulai diliputi rasa was-was. Senyuman yang sebelumnya terasa sulit untuk dihilangkan, kini justru lenyap dalam sekejap.
“Aku Baekhyun, Nuna.”
“Baekhyun?” manik Irene melebar, terkejut, namun hatinya perlahan merasa sedikit lega mengetahui seseorang yang meneleponnya bukanlah orang jahat. “Aish! Kau ini benar-benar membuatku hampir mati ketakutan, tahu?!”
“Bagaimana kau bisa tahu nomor ponselku?” tanya Irene, penasaran.
“Kalau warna celana dalam yang paling sering kau pakai saja aku tahu, kenapa tidak untuk nomor ponselmu?”
“Hei! Kau benar-benar membuatku merinding! Berhentilah bersikap seperti kau adalah seorang stalker sungguhan!”
“Teruslah bicara, Nuna. Aku sangat menyukai suaramu. Aku tak ingin kau menutupnya,” pinta Baekhyun dengan suara bergetar, napasnya terdengar begitu berat seperti orang yang menahan rasa sesak di dada.
“Kau baru saja meminta seorang model kelas Asia untuk berbicara panjang lebar, memangnya kau berani membayar berapa untuk semua itu?” tanya Irene, sedikit bergurau.
“Sebanyak apapun akan kuberikan. Bahkan kalau kau memintaku untuk membunuh siapapun, aku akan melakukannya untukmu dengan senang hati,” jawab baekhyun bernada serius, yang lagi-lagi berhasil membuat bulu kuduk Irene berdiri.
“Aish, kata-katamu tenyata menyeramkan juga.” Irene membenarkan posisinya, duduk bersila di atas kasur sebelum akhirnya melanjutkan, “Biasanya lelaki lebih sering mengatakan kalau mereka rela mati demi diriku, mereka akan bilang kalaupun aku menyuruh mereka untuk bunuh diri mereka akan melakukannya dengan senang hati. Tapi rupanya, kau sedikit berbeda,” tutur Irene, terkekeh pelan.
“Kenapa juga aku harus mati? Kalau aku mati, aku tidak akan bisa memilikimu.”
Mendengar itu, Irene justru tersipu. Lelaki yang saat ini masih terhubung dengannya via telepon sepertinya memang memiliki kemampuan yang tak main-main dalam meluluhkan hati wanita.
Di lain tempat, tepatnya di ruangan rahasia rumah besar keluarga Byun, Baekhyun tampak terduduk di sudut, seorang diri. Panggilannya masih terhubung dengan nomor kontak Joohyun, kakak perempuannya yang sekarang bernama Bae Irene.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEVEN ELEVEN
Fanfiction[Sequel of 'BATHROOM'] Yena merasa hidupnya tidak akan pernah berjalan mulus jika orang-orang terus mengaitkan dirinya dengan masa lalu kelam sang ayah yang tak lain merupakan seorang pembunuh. Meski 14 tahun telah berlalu sejak sang ayah tercinta d...