Lagi, lelaki itu tersenyum pahit saat mendapat sebuah pesan berisi permintaan maaf Yena. Hatinya telah terlanjur terluka begitu dalam. Sesungguhnya, maaf saja tak cukup untuk menyembuhkan luka hatinya. Namun, berkebalikan dari apa yang ia rasa, Sehun tetap menyempatkan waktu untuk membalas pesan Yena tanpa menunggu lama.
Di kamar hotel inilah Sehun kini berada. Kamar yang sama, dua tempat tidur yang sama, juga langit-langit yang sama. Kamar hotel itu tidak berubah meski tanpa eksistensi Yena lagi di sana. Itu menyakitkan, menyadari semuanya terus berjalan baik-baik saja sedang jauh di dalam hati, semuanya berbanding terbalik dari kenyataan.
“Dunia tidak pernah adil kepadaku,” gumam Sehun, lirih.
.
.
.
‘Kenapa si anak baru itu bisa mendapat ranking satu?!’
‘Dia ‘kan bule, sudah pasti jago bahasa inggrislah! Tidak seperti mantan ranking satu di kelas kita’
‘Iya, kudengar, budaya sarapan orang barat yang suka makan keju dan minum susu membuat mereka bisa lebih pintar dari kita lho!’
Para siswa kelas 2-1 sedang ramai membahas kepintaran Oh Sehun, siswa yang baru pindah ke sekolah khusus laki-laki mereka dari sekolah menengah pertama ternama di luar negeri. Karena iri, bukannya memuji, mereka malah mengatakan hal-hal buruk yang belum tentu benar dilakukan Sehun selama tinggal di Amerika.
Sebagai seorang siswa baru, Sehun tak banyak memiliki teman. Satu-satunya siswa yang mau berteman baik dengannya tak lain adalah Kim Jongin, si siswa tercerdas di sekolah ―tentunya jauh sebelum Sehun datang dan merebut predikat itu.
Respon siswa lain terhadap berubahnya peraih peringkat satu di sekolah mereka membuat Jongin geram bukan kepalang. Sahabat Sehun itu merasa bahwa Sehun telah menusuknya dari belakang, memanfaatkannya selama ini demi mendapat peringkat tersebut.
“Sehun-ah,” panggil Jongin, menghampiri Sehun yang sedang duduk santai sambil mendengarkan musik melalui headphone di mejanya.
“Hei, Oh Sehun! kau tak mendengarku?!”
Jongin melepas headphone Sehun secara paksa, membuat Sehun balik menatap ke arahnya dengan tatapan tak suka.
“Kau punya masalah denganku, Kim Jongin? tak bisakah kau membuka percakapan baik-baik?”
“Tidak bisa!” tandas Jongin. “Bagaimana bisa aku bicara baik-baik pada seseorang yang telah menjatuhkanku?”
Kening Sehun mengkerut, tak mengerti arah pembicaraan siswa berkulit gelap itu. Lelaki yang berkulit lebih putih lantas memilih bangkit dari posisi duduknya yang tak lagi nyaman.
“Coba katakan apa masalahmu?”
“Kenapa kau harus lebih pintar dariku?” tanya si lelaki Kim, tatapannya terus menyasar tajam tepat ke arah Sehun. “Kenapa nilai ujian bahasa inggrismu harus jauh lebih tinggi daripada aku?”
Sehun memandang Jongin dengan tatapan tak percaya. Bila biasanya seorang sahabat selalu bahagia melihat sahabatnya bahagia, Jongin justru tak pernah melakukan itu. Setiap kali Jongin menemukan kertas ulangan Sehun bernilai lebih tinggi darinya, Jongin akan menunjukkan ketidaksukaannya dengan mendiamkan Sehun sepanjang hari. Sedangkan jika dirinya menemukan nilai Sehun lebih jelek darinya, ia akan terus menyombongkan nilainya pada Sehun seharian pula.
Sejak hari itu, Sehun menyadari... Jongin bukanlah sahabatnya.
Sepulang sekolah, seperti biasa, kedua orangtua Sehun menjemput Sehun untuk mengikuti les di sebuah tempat bimbingan belajar. Buku-buku pelajaran nan tebal telah menjadi makanan Sehun sehari-hari. Baik di Amerika ataupun di negara ini, tak ada bedanya. Orang tuanya selalu menuntutnya untuk menghabiskan waktu dengan belajar. Tak ada main-main, tak ada pergi bersama teman di hari libur. Begitulah Sehun harus hidup selama 12 tahun pendidikan formalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ELEVEN ELEVEN
Fanfiction[Sequel of 'BATHROOM'] Yena merasa hidupnya tidak akan pernah berjalan mulus jika orang-orang terus mengaitkan dirinya dengan masa lalu kelam sang ayah yang tak lain merupakan seorang pembunuh. Meski 14 tahun telah berlalu sejak sang ayah tercinta d...