Sandra merenung di dalam kamarnya. Tatapannya hanya pada jendela yang terbuka lebar dan melihat bunga-bunga di taman sana bergerak mengikuti angin pagi.
Hatinya sangat sedih karena bi Dewi sudah tak lagi bekerja di rumahnya. Kemarin siang, ketika ia pulang dari sekolah dikejutkan oleh bi Dewi yang membawa koper. Beliau berpamitan pada seluruh keluarga Risalnodi. Alasan beliau berhenti karena anak-anaknya di kampung melarang wanita itu bekerja. Usianya sudah semakin tua.
Walapun terasa sesak. Sandra mencoba mengikhlaskannya. Padahal, bi Dewi sudah ia anggap sebagai neneknya sendiri. Bi Dewi lah yang membesarkan Sandra, Rifal dan Fano sejak mereka bertiga sudah tak memiliki seorang ibu lagi. Bahkan, Mahes sendiri menganggap bi Dewi sebagai ibunya sendiri. Sekarang asisten rumah tangga di rumah itu sudah di ganti oleh orang lain.
Sandra mengusap wajahnya frustasi. Ia menghela nafas yang entah mengapa terasa berat. Suara ketukan pintu membuatnya beranjak dari sofa. Ia membuka pintu dengan malasnya.
"Oh, Bibi." ucap Sandra menyunggingkan senyum pada wanita itu. Meskipun bi Dewi adalah yang terbaik, ia haruslah menghormati penggantinya ini.
Wanita itu membalas senyum Sandra, "Sama tuan, disuruh ke bawah untuk sarapan, Neng!" ucapnya.
"Oh baik, Bi." ucap Sandra sopan. Ia berjalan lagi ke kamar untuk mengambil tas ranselnya. Kemudian turun untuk sarapan dan berangkat sekolah.
Kakinya berhenti menuruni tangga ketika melihat siapa yang ada di meja makan sana. Fano. Tak biasa jika Fano mau makan bersama di satu meja makan bersamanya. Meskipun di meja sana Fano menampakkan ekspresi yang sangat data. Sandra bahagia karena walaupun hanya satu dua kali bisa satu meja makan dengan pria itu. Ia menyunggingkan senyumnya dan melanjutkan langkahnya.
"Pagi semua." sapa Sandra berwajah cemerlang.
"Pagi, Nak." jawab Mahes.
"Pagi bawel!" sahut Rifal selanjutnya.
"Apa sih, Kak! Aku diemnya kayak gini dikatain bawel!"
"Diem emang. Kalau tidur atau di foto!"
Mata Sandra bertemu pandang dengan Fano sekilas. Hanya berlangsung 2 detik. Tatapan Fano yang tajam di balas senyuman tipis oleh Cassandra. Mahes menatap Fano dan setelah itu ke Sandra. Fano kembali sibuk dengan ponselnya walaupun makanan sudah jelas ada di depannya.
"Fano. Makan sarapannya, matikan HP kamu!" ucap Mahes tegas. Fano langsung memasukkan ponselnya pada saku seragammnya.
Mereka berempat makan tanpa suara. Beberapa menit kemudian sarapan selesai."Fano?" ucap Mahes.
"Iya?"
"Kamu berangkat bareng Cassandra hari ini. Rifal hari ini akan ikut ayah!"
Tatapan Fano berubah menjadi tajam, rahangnya mengeras."Yang benar saja!" ucap Fano tertawa hambar sambil membuang muka dari Mahes.
"Fano! Ayah gak main-main!" ucap Mahes.
"Fano gak mau,Yah. Sekarang Fano mau berangkat!" Fano berdiri dan mengulurkan tangannya ke tangan Pria berjenggot itu untuk berpamitan. Dengan cepat Mahes menjauhkan tangannya.
"Sudah ayah bilang. Sandra berangkat bareng kamu. Sandra adik kamu kan?" tegas Mahes.
"Bukan. Adek aku cuma Lola!"
"FANO!" bentak Mahes. Matanya membulat sembari mendongak menatap Fano yang berdiri. Fano menarik tangannya lagi dan tatapannya kini bertemu dengan Sandra. Tatapannya di penuhi dengan kebencian.
"Duduk!" perintah Mahes dan Fano duduk lagi di tempatnya dengan gusar.
"Lola hanya sepupu kamu. Sedang, Sandra adalah adek kamu yang sah. Seharusnya, dari dulu kamu berangkat dan pulang sekolah juga dengan Sandra. Ayah dulu diam saja. Tapi sekarang tidak, mulai hari ini kamu harus berangkat serta pulang dengan adikmu. Rifal sudah semakin sibuk hari-hari ini!" tegas Mahes.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
JugendliteraturMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...