Seorang wanita berambut panjang yang tengah tersenyum kini ada di depan kedua mata Fano. Namun sayangnya, sosok itu hanya terwujud dalam selembar kertas. Langit yang sudah tampak hitam dengan bintang-bintang menyebar disana, sunyi nan gelap dan hanya hempasan ombak yang terdengar.
Sudah berjam-jam Fano duduk di atas pasir dan sapuan kecil dari ombak yang membasahi punggung kakinya.
Pandangan mata pria itu tak beralih dari fofo bunda tercintanya. Hawa dingin tak dirasakannya walau hembusan angin menembus sebatas kaos tipis yang di dikenakan. Jiwa nan raga Fano sudah terselimuti oleh kerinduannya pada sang bunda.
Bun, gadis itu telah menyelamatkan hidup Fano. Apakah bunda lihat dari sana?
Bunda selalu berkata, "Jangan pernah menyakiti seorang wanita, jagalah hatinya dengan perkataan dan perbuatan, lindungi fisiknya jangan sampai engkau mengangkat tanganmu." Disana bunda pasti sangat kecewa karena aku telah membuat seorang wanita hampir kehilangan nyawanya. Maafkan aku, Bun.
Aku telah mengecewakan Bunda. Walau aku tau bagaimana pengorbanannya, Fano masih tidak bisa menutup kemungkinan jika ibu gadis itu telah menyakiti Bunda.
Kini, aku juga sudah tau kenyataannya. Gadis itu satu ayah dengan Fano dan Rifal. Dia adek Fano. Hari ini, Fano telah mengatakannya dari hati, Bun. Namun, maaf. Fano hanya bisa mengakuinya, Bun. Entah mengapa, Fano masih tidak bisa memberi kasih sayang seorang kakak. Kebencian itu masih ada, Bun. Kenapa masih saja seperti itu?!
Tangan Fano semakin erat menggengam foto itu. Kedua matanya kini merah sedikit berair namun kelelahannya menahan air mata itu untuk jatuh dari pelupuknya. Pria itu sudah lelah dan benci pada dirinya sendiri.
Fano sudah lelah akan hidup ini. Fano ingin menemanimu di sana, Bun.
Teriakannya sangat keras dalam hati seorang pria di balik tatapan dan sifat dinginya. Siapa yang akan menjadi saksi? Tak akan ada. Sedingin apapun seseorang, tak menutup kemungkinan bahwa kehangatan masih melekat di dalam hatinya. Fano menutup kedua matanya sesaat. Ia merunduk, mencium hangat foto bundanya meluapkan kerinduan beberapa menit.
"Eghem."
Suara deheman seorang pria membuat Fano membuka mata dan perlahan menegakkan punggunya. Fano hanya menoleh sedikit dan tanpa melihat wajah pria yang berdiri itu Fano sudah tau kalau itu Ciko.
"Ternyata lo disini." ucap Ciko sembari ikut duduk di sebelah Fano. Matanya beralih menatap benda yang ada di genggaman sahabatnya itu, lalu tersenyum.
"Ngapain lo malem-malem disini? Ini udah hampir jam 1 tapi lo belum tidur juga."
"Lo ngapain kesini?" bukannya menjawab, Fano malah balik bertanya dengan suara sedikit serak.
"Gue gak bisa tidur, jadi gue jalan-jalan dan gak sengaja lihat lo disini. Lo udah dari tadi?"
"Hm."
"Tidur gih. Lo pasti kecapekan karena kejadian siang tadi. Besok masih banyak kegiatan, Fan." ucap Ciko dengan raut wajah serius sekalian memandang sahabatnya itu dengan rasa iba. Fano tak menjawab, masih setia memandang ke depan.
"Gimana Sandra? Dia udah siuman?"
"Udah."
"Syukur, lah."
Hening beberapa saat. Sampai Ciko membuka percakapan dimana ini adalah yang mau ia katakan pada Fano.
"Fan, lo gak tau kalau Lola ikut piknik?"
Fano menoleh, "Loh, dia ikut?"
"Iya. Tapi, dia udah dipulangin sama pak Wahyu." jawab Ciko membuat Fano mengernyit. "Dia mencoba menyasarkan Sandra di hutan. Lola mengubah arah panah menuju kesini, karena dia kira cuma Sandra yang baris di belakang."
![](https://img.wattpad.com/cover/132119218-288-k956958.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...