Jam menunjukkan pukul 9 malam. Sejak Fano mengantarnya pulang tadi pagi sampai sekarang, Diva hanya berdiam diri di kamar. Hanya ada dirinya dan para pekerja dirumah ini. Kedua orang tuanya sedang keluar kota beberapa bulan. Dava dan Alan? Mereka juga belum pulang sampai sekarang, entah dimana.
Ceklek,
Pintu tiba-tiba terbuka dan munculah Dava disana. Pria itu langsung masuk dan duduk di tepi ranjang. "Apa yang terjadi sama lo?" "Gue gakpapa." Diva menepis tangan Dava pada puncak kepalanya. "Ini adzab gue karena nyoba bolos hari ini."
"Sejak kapan lo diajari bandel?" Dava melotot, tapi ia sudah tau Diva tidak akan berani melakukannya.
"Gue serius." suara Dava berubah dengan raut wajah tegas.
"Lo dari mana? Kenapa bisa diperban gini? Bi Ratih bilang kalau lo tadi jam 11 diantar cowok."
"Itu semua urusan gue."
"Div."
"Hm?"
"Gue gak mau lo kakuin hal-hal yang membahayakan keselamatan lo sendiri ya. Berapa lama lo kontrol buat sembuhin tangan kiri lo, hah? Seharusnya lo bersyukur karena tangan lo udah pulih. Tapi lo malah ceroboh kayak gini. Apa lo gak inget kecelakaan yang buat lo koma?"
Diva menghela nafas, menatap Dava yang tidak main-main dengan ucapannya itu. "Gue gak niat ceroboh. Lo gak tau apa yang sebenarnya terjadi."
"Ini tentang hidup lo, Div. Kita semua menjaga dan peduli sama lo. Tapi lo sendiri mengabaikan hal itu. Gue hanya memperingatkan. Kalau lo masih gak bisa dibilangin, gue bakal kasih saran ke papa buat nyekolahin lo privat di rumah. Jadi gak usah keluar rumah selamanya."
Diva diam tak membantah. Kembaran koplaknya ini berubah menjadi menakutkan. Ia tersenyum tipis, merasakan kepedulian seorang kakak pada adiknya. Tapi semenit kemudian senyum tipis Diva bertambah mengembang, sampai sebuah tawa berhasil meledak.
"Lo kayak emak-emak sebelah deh Dav. Bayar berapa lo les ke mereka? Lain kali ajak gue ya, biar gue tau tips buat ngomel-ngomel kayak lo tadi."
Dava mengumpat tanpa suara. Sekarang ia tidak mood diajak bercanda. Tawa geli Diva membuatnya ingin melayangkan sesuatu pada saudarinya itu.
"Jadi lo pikir gue bercanda?"
Diva langsung menggeleng cepat, kemudian tersenyum simpul. "Iya, gue janji gak akan nekat lagi, Bang." Tangan Diva bergerak iseng mengambil bantal disampingnya lalu menghantakamannya pada wajah menyebalkan Dava."Buktinya tangan gue mampu nabok lo." Lanjutnya tanpa dosa diikuti tawa jahilnya.
Dava melotot kecil memandang Diva dan bantal yang menghantam wajahnya barusan secara bergantian. "Dasar lo ya. Beruntung lo sekarang lagi gini. Kalau gak udah gue pecel tuh wajah."
Tawa Diva semakin meledak, "Tuh kan sifat emak-emaknya muncul lagi."
"Anj--" Dava menelan umpatannya, melengos menatap jendela.
"Huh ngambekan lo."
Kali ini Dava tak mau menggubris. Tatapannya serius memandang kosong kaca jendela sedang tampak memikirkan sesuatu.
"Lo darimana aja, jam segini baru pulang? Mentang-mentang gak ada papa sama mama lo seenaknya."
"Gue dari rumah sakit. Jenguk Sandra."
Tawa Diva langsung mereda, "Berarti lo ketemu kak Fano?"
Dava menggeleng, "Gue hanya ketemu om Mahes sama kak Rifal yang dari expresi mereka sudah jelas kalau keadaan semakain memburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...