Terlihat dari atas, jalan masih ramai walau langit sudah gelap. Mendekati liburan, jalan tidak pernah sepi. Fano berdiri sambil menumpukan tangannya di atas pagar balkon. Ia mengenakan jaket hoodie sebagai penghangat tubuhnya. Entah tak ada yang dilakukannya sejak tadi disini, hanya menatap perumahan dan jalanan di bawah.
"Fan." Panggil seseorang yang tiba-tiba berada di samping Fano.
Fano hanya menoleh sekilas pada Rifal lalu menatap ke depan lagi. Acuh.
"Lo ngapain sih disini? Lo gak tidur?"
"Gak."
Rifal tersenyum tipis. Ia menumpukan tangannya di pagar lalu melihat jalan di seberang sana. Garis wajahnya berubah menjadi serius.
"Fan, lo tau? Gue kangen banget sama bunda." nada Rifal menjadi rendah. "Bunda selalu bisa menyatukan siapapun yang terlibat kesalah pahaman."
Garis wajah Fano berubah seketika. Yang dikatakan Rifal memang benar, ia pun sama rindunya dengan sang bunda.
"Gue inget tawanya, amarah disaat gue sama lo gak mau baikan, amarah di saat gue sebagai abang gak mau mengalah sama adeknya, nasihatnya, dan masih banyak."
Dan gue inget tangisannya. Batin Fano miris
"Saat bunda ngeluarin air mata, dia selalu bilang tidak apa-apa waktu gue tanya. Dan dengan bodohnya gue percaya aja. Gue gak tau kenapa hanya adek gue yang tau apa masalah besar yang ditimpanya."
"Waktu bunda berantem hebat sama ayah, gue lihat disitu tatapan lo ke ayah dipenuhi kebencian. Gue merasa disitu lo tau apa penyebab mereka bertengkar, sedangkan gue gak tau apa-apa, siapa yang salah dan siapa yang benar. "
"Bunda juga gak pernah bilang ke gue apa masalahnya," sahut Fano, dan Rifal menoleh. "Hanya saja gue yang menjadi saksi mata apa penyebab bunda menangis tiap hari." lanjut Fano menekankan suaranya.
"Hm, gue tau. Bunda selalu nutupin masalahnya. Walau gue sempat iri sama lo, kenapa hanya lo yang di ajak kemana-mana setiap pulang sekolah, kenapa hanya lo yang tau masalah itu. Tapi gue sadar, itu semua karena bunda telah memberi kepercayaan besar sama lo. Gue sangat bangga, dan gue gak iri lagi." Rifal tersenyum hangat, "Lo tau apa artinya itu, Fan? Bunda percaya dan berharap bahwa suatu saat nanti, lo bisa menjadi kayak dia. Bijaksana, mengerti apa yang salah dan tidak, faham betul jika dirinya ada dalam kesalah fahaman."
Deg.
Kata-kata Rifal berhasil membuat hati Fano terhantam. Hati Fano luluh, ia menoleh dan menatap wajah Rifal yang berbicara.
"Tapi gue juga sedih, Fan. Kenapa lo gak bisa mewarisi sifat bunda yang seperti itu? Padahal bunda udah berharap sama lo."
Rifal menghembuskan nafas, ia memejamkan mata sesaat lalu kembali tersenyum hangat. "Tapi itu dulu. Sekarang gue juga gak akan pungkiri kalau adek gue udah besar. "
"Andai gue sadar dari dulu, gue gak akan menghadapi dengan emosi. Sifat lo yang berubah jadi dingin, kasar, dan penuh emosi, gue selalu mgehadapi itu dengan emosi pula. Gue seperti itu, karena disisi lain gue punya 2 adek, yaitu lo dan Sandra. "
"Gue minta maaf Fan, selama ini gue selalu kasar sama lo. Sebenarnya itu adalah keegoisan gue, sikap gue salah dalam nyatuin kedua adek gue. Gue kasar, gue berusaha mengkode lo padahal gue dilarang memberi tahu lo yang sebenarnya. Gue kesal, dan akhirnya sifat gue kasar dan seolah-olah benci sama lo." Rifal meluapkan semuanya, sudah bukan waktunya lagi ia menyadarkan Fano dengan cara tertutup. "Sekarang gue lega, lo udah tau yang sebenarnya walau itu menyakitkan."
"Lo inget? Saat lo kelas 3 SMP, dan gue 3 SMA, kita bertengkar hebat karena gue gak sengaja lihat , lo dan Lola hina Sandra habis-habisan. Lo ataupun gue hampir saja masuk rumah sakit. Gue gak tau lo masih inget atau gak kalimat yang keluar dari mulut lo waktu itu. Lo bilang ...,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...