"Ko."
"Hm?"
"Kodok."
Sontak Ciko yang sebelumnya main game langsung menatap Beki tajam.
"Hehe, kagak. Bercanda gua."
Ciko kembali bermain game di ponselnya. Saat ini kedua cowok itu sedang duduk di kursi penonton paling belakang. Beki hanya diam dengan bosan tidak bertingkah gila seperti biasanya. Sampai kedua matanya tidak sengaja melihat disana 4 siswi sedang bercanda ria tidak jauh dari ia duduk. Entah mengapa tidak seperti biasanya hati Beki jadi punya rasa kasihan sebesar ini.
"Ko." panggilnya masih fokus pada keempat cewek itu. Tidak, lebih tepatnya pada satu orang di antara mereka.
"Apaan? Lo jangan ganggu gue ya, gue capek ini lagi refreshing."
Beki melirik sekilas pada temannya itu, "Capek apa lu?"
Ciko tidak menjawab karena pasti Beki hanya memanggilnya dan menunjukkan hal tidak penting seperti tadi.
"Oh iya, lo kan pak ketua." Beki terkekeh sendiri. Tapi sesaat kemudian wajahnya kembali serius. "Ko, gue serius nih. Gue kasian deh sama Sandra." ucap Beki kembali serius dan tidak melepas pandangan ke Sandra. Kalimat itu sukses membuat Ciko terdiam dan langsung melihat ke Sandra pula.
"Dia tersenyum dan menyembunyikan penderitaanya."
"Lo baru menyadari itu?" heran Ciko setelah lama berteman dengan pria ini namun baru saja mengutarakan sekarang hal yang dilihat setiap hari. Beki menghela nafas, dalam hati ia menyetujui apa yang dikatakan Ciko.
"Gue heran, kenapa Fano sampai sekarang belum juga mengakui dia. Gue lihat setelah Sandra nyelamatin nyawa Fano, sikap Fano belum juga berubah. Fano bener-bener keterlaluan." baru kali ini Ciko mendengarkan temannya yang paling gila ini berbicara serius, dan itupun dengan pikiran yang benar-benar dewasa, serta tatapan iba yang jelas terlihat di matanya. Tapi bagaimanapun perkataan Beki benar, Fano sudah keterlaluan.
"Iya lo bener, Bek." Disamping menyetujui apa yang dikatakan Beki, Ciko masih bingung. Pasalnya, ia melihat Fano berjalan menuju Healthy Room setiap malam di Desa Ratenggaro. Ia pikir mungkin sahabatnya itu sedang melihat keadaan Sandra di saat semua orang sudah tidur, tapi ia juga belum yakin akan itu.
Ciko menoleh kesamping secara tidak sengaja namun membuat ia langsung terkejut ketika melihat Fano sedang berdiri tidak terlalu jauh darinya.
"Andai Sandra jadi adek gue, pasti udah gue sayangin melebihi apapun. Apalagi kalau jadi pacar gue, yah pasti udah gue manjain dia." Ujar Beki penuh harap dan sangat dramastis membuat Ciko melotot.
Ciko mendorong kursi yang diduduki Beki dengan kakinya lalu berdehem memberi isyarat. Beki yang menyadari itu langsung bersikap sok biasa tapi jantungnya berdegup tidak karuan. Sekilas Ciko dan Beki saling tatap, dengan pertanyaan sama, Apa Fano udah denger semua pembicaraan kita?
Menit berikutnya terdengar sebuah derap langkah mendekat. Ciko pura-pura bermain ponsel lagi, sedangkan Beki memandang kesana-kemari melihat pemandangan. Tepat saat Fano duduk, Beki menoleh akan menyapa, tapi Fano malah menoleh pada Ciko.
"Ko, besok acaranya dimulai jam berapa?"
Ciko menatap Fano pura-pura tidak tau kalau cowok itu sudah ada tadi di sekitar sini. "Oh iya, bentar. Gue lihat jadwalnya." Ciko membuka galeri di ponselnya dan mulai mencari jadwal yang hanya dirinya dan para guru yang memiliki.
Fano duduk dan pura-pura bertanya, tapi sebenarnya ia mendengar semua. Fano sama sekali tidak berniat untuk marah karena yang dinyatakan mereka benar. Fano berfikir ia hanya butuh waktu, ia tak mau berubah karena terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
أدب المراهقينMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...