Sudah 3 hari berlalu setelah Sandra siuman. Gadis berambut pirang itu sudah tak lagi menggunakan alat medis. Namun Mahes masih melarang Sandra untuk sekolah. Dokter pun menyarankan demikian, karena kondisi Sandra masih lemah dan kemungkinan akan pingsan jika berada dibawah sinar matahari terlalu lama.
Sandra duduk diatas kursi roda. Ia sedang menikmati udara pagi di bawah pohon rindang yang ada di taman belakang rumahnya. Kedua sudut bibirnya selalu terangkat. Hati dan pikirannya benar-benar lepas dari beban. Sandra mendongak, menatap langit dari celah dedaunan. Ia merasa kedua ibunya tengah tersenyum bahagia melihat keluarga Risalnodi yang sudah bersatu dengan afeksi sepenuhnya. Sandra memejamkan mata dengan kepala masih mendongak. Kedua sudut bibirnya terangkat diiringi hembusan nafas yang ringan.
Bahagia.
Satu kata itulah yang menggambarkan suasana hatinya.
Ini masih jam 9 pagi. Masih 5 jam lagi Fano pulang. Sandra akan menunggu disini saja sambil bersandar. Jika dikamar saja akan bosan.
Rifal? Dia sudah berangkat keluar kota. Apa lagi kalau bukan soal pemotretan fashionnya. Kakak pertama Sandra itu sangat beruntung dan sudah sukses sejak SMA. Dia sudah memiliki uang jajan sendiri dari hasil pekerjaan sebagai model itu. Bahkan kuliah, Rifal sendiri yang membiayainya walau ia adalah putra keluarga Risalnodi. Padahal Mahes selalu melarangnya, tapi Mahes langsung kagum saat putra tertuanya itu berkata, "Dari dulu, aku selalu memimpikan kuliah dengan cara seperti ini, Ayah. Jangan membedakan kaya atau miskin. Dari kalangan apapun, yang utama adalah usaha. Bukan malah selalu mengharapkan sesuatu dari yang berusaha."
Walau kadang tengil. Rifal sangat bisa mendewasai hal apapun. Sehingga ia jarang sekali bertengkar saat masa sekolahnya dulu. Ia hanya berpacaran 1 kali yaitu dengan Adel dan sampai saat ini sudah tunangan. Rifal memilih cinta pertamanya bukan untuk main-main. Pedomannya adalah First love is Last love. Benar-benar pria idaman.
Tiba-tiba suara dering di benda pipih milik Sandra berbunyi. Sandra bangun dari sandaran dan melihat layar hpnya yang memperlihatkan panggilan dari kontak bernama Dava. Tunggu, Sandra masih diam tak berkutik dengan mata terpaku pada nama tersebut. Kenapa saat dirinya memfikirkan soal pria idaman seperti Rifal beretepatan dengan Dava yang nelfon.
Sandra menggeleng dan mengerjap sadar. Itu mungkin hanya perasaanya saja. Toh itu cuma kebetulan. Sandra meraih Hpnya lalu mengangkat panggilan itu.
"Halo, apa Dav?"
"Kok suara lo gugup gitu sih, San?" Itu suara Diva.
Dengan segera, Sandra melihat layar Hpnya lagi. Matanya serasa ingin copot saat melihat nama kontak itu memang Diva bukan Dava.
"D-I-V-A..., Ini Diva!?" dengan bodohnya Sandra mengeja nama itu. Tapi ia tadi benar-benar melihat nama Dava tadi. Apa ini hanya perasaanya saja?
"Halo, San? Hey lo denger gue kan?"
Suara diseberang sana membuat Sandra sadar. Sandra mengusap wajahnya sejenak karena malu. Pikirannya kenapa tiba-tiba buyar begini.
"I-iya, Div. Kenapa? "
"Acieeee, gue tadi denger lo manggil gue Dav deh? Apa gue yang salah dengar ya."
Diva membuat Sandra bertambah malu. "Apaan? Lo aja kali yang salah denger."
"Udahlah. Gue nelfon lo cuma mau bilang kalau nanti pulang sekolah, kita rame-rame mau jenguk lo, San. Gapapa kan?"
"Ya gapapa lah, Div. Gue malah seneng. "
"Hm oke. Gue tutup dulu, San. Gurunya dah masuk kelas. Bye!"
"Bye!"
Sandra menangkup wajahnya. Benar-benar malu. Ia memejamkan mata erat-erat dengan menggigit bibir bawahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...