Suara itu?
Garis wajah Diva langsung berubah. Ia yakin pernah mendengar suara berat itu dan juga kedua mata pria tadi. Dia adalah pria yang pernah berbicara sembunyi-sembunyi di bukit Warinding dulu dengan pakaian serba hitam.
Diva langsung berdiri, membersihkan sikunya sembari berjalan cepat membututi pria itu. Langkah pria itu semakin cepat membuat Diva berlari, sampai ia berhasil meraih lengannya sesaat. Hanya sesaat karena pria itu hanya menoleh tanpa menghentikan langkah sama sekali. Tatapan selidik di mata Diva membuatnya merasa gadis ini sedang mencurigainya.
"Lo? Lo pria itu kan?" kesal Diva penuh penekanan. "Apa yang lo lakukan pada Sandra, HAH?!" Diva berteriak.
Sekarang Agil mengerti, gadis ini pasti pernah melihatnya disuatu tempat. Andaikan ini tempat sepi, dia akan segera membunuhnya agar ia aman. Namun tidak ada pilihan selain lari. Pria itu berlari sangat cepat. Ia tetap fokus pada jalan didepannya karena merasa gdis tadi tak akan bisa menandingi kecepatan larinya, mungkin gadis itu sudah tertinggal jauh di belakang.
Agil berhasil keluar rumah sakit sekarang. Kini ia berlari di tepi jalan raya. Ia menoleh kebelakang memastikan bahwa Diva tidak akan bisa mengejarnya itu benar. Tapi prediksinya 100% salah. Gadis itu larinya sangat cepat.
Jangan remehkan seorang Diva. Gadis ini adalah atlet yang pernah menjuarai lomba lari jarak jauh tingkat internasional. Diva akan menggunakan kemampuannya ini sebaik mungkin agar pria jahat itu tak lepas. Dengan segera Diva mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Polisi sembari terus berlari.
"Halo Pak--"
BRAK.
Belum sempat berbicara, benda pipih itu sudah terpental ke belakang. Seseorang tak sengaja menabrak Diva dari suatu gang yang membuat Diva terhunyung hampir jatuh. Dan sialnya ponsel Diva sekarang mati tergeletak di tanah.
"Maaf, Mbak, maaf Mbak ya, aduh saya nggak lihat, saya sedang terburu-buru."
Diva hanya mengangguk, sambil menatap ponselnya sebentar lalu pada pria tadi didepannya sana yang masih berlari. Tak ada waktu buat mengambil ponselnya lagi, Diva memilih untuk kembali berlari kencang. Ia bisa melihat di sana pria itu tampak menghubungi seseorang, mungkin meminta siapapun untuk menjemputnya.
Tak peduli. Keringat mengalir deras pada tubuhnya. Diva harus menangkap dia untuk tau apa benar dia adalah suruhan Lola. Andai tadi Fano bersamanya saat ia mendengarkan pembicaraan Lola di telfon.
Dirumah sakit, Fano dan Mahes menunggu dengan cemas diluar ruangan. Dokter dan beberapa suster sedang berusaha menghentikan tubuh tak sadar Sandra yang kini memberontak. Fano berdiri menyaksikam dari luar betapa tersiksanya tubuh adiknya tersebut. Ia meremas rambutnya kasar, seharusnya ia tak pergi kesekolah tadi.
"Ini semua salah Ayah." ujar Mahes sangat pelan tapi terdengar oleh Fano. Ia merasa tidak tega dengan ayahnya yang terlihat begitu lemah. Fano memandang kedalam lagi, dan tak lama kemudian Dokter dan para suster terlihat selesai dengan usaha kerasnya untuk memasangkan lagi alat pernafasan yang selangnya telah putus karena seseorang. Tubuh Sandra pun kini tenang walau matanya masih belum terbuka. Komputer pendekteksi kehidupan yang sempat mengeluarkan suara was-was, sekarang kembali bernaung normal.
Fano menghela nafas sembari memejamkan mata sesaat, bersyukur. Lalu berjalan mendekati Mahes yang duduk dengan tidak berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Fano menjatuhkan lututnya di lantai lalu menggenggan tangan ayahnya yang bergetar.
"Putri ayah harus selamat. Ayah tidak akan memaafkan diri ayah sendiri, ini semua salah ayah." Keluh pria paruh baya itu dengan suara bergetar.
"Tidak, Yah. Ini bukan salah Ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Подростковая литератураMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...