28. Fakta dan Penyesalan✅

2.1K 82 6
                                    

"Div."

"Hm?"

"Diva!"

"Hmmmm?"

"Buka mata lo!"

"Ya ampun! Apa sih apa?!" Bentak Diva, menegakkan tubuh dan melirik tajam Dava yang sedari tadi memanggil namanya. "Gue udah baik ngebukain pintu. Gue udah bilang jangan ganggu gue tidur!" Seru Diva dengan badan yang akan roboh kembali ke bidang empuk itu. Tapi Dava menariknya lagi secara paksa membuatnya kembali duduk dengan malas.

"Lo ini cewek! Jam segini belum waktunya tidur!"

Diva memutar bola malas, "Iya, gue tau. Tapi biarin gue bersandar dengan tenang, oke?!"

"Gak," tegas Dava.

Diva menoleh sepenuhnya, pandangannya tambah tajam. "Dava! Inget ya ini kamar siapa? Ini kamar gue!"

"Oh, jadi ini kamar lo? Kenapa gue lupa ya!"

"Elo...." Kedua tangan Diva sudah bersiap akan mencekik leher pria itu. Detik berikutnya ia turunkan tak lupa dengusan kasar yang membuat Dava terkekeh.

"Nyesel dah, bukain lo pintu tadi!" Gumam Diva sambil menguncir rambutnya asal. "Sekarang jelasin kenapa lo kesini? Mau minta tolong buatin minum karena sekarang ceweknya cuma gue doang?" Tanya Diva panjang lebar dejgan sedikit kesal.

"Kata siapa? Mama di bawah."

Diva menggerakkan leher perlahan menatap Dava di tepi ranjangya, "Yaudah minta tolong buatin Mama. Lo kan tau gue gak enak kalau buat bikin minuman!"

"Bukan itu yang gue maksud."

"Lalu?"

"Lo kebawah dan bantuin mama! Kasian mama sendirian." Kata Dava cepat namun kalimat itu mampu membuat Diva tertegun.

Garis wajah Diva berubah. Ia menoleh perlahan ke pria itu. "Lo bilang apa?" Tanya Diva bernada rendah.

Dava menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan. Ia masih diam dengan memejamkan mata sesaat.

Hening. Keduanya sama-sama tak berucap. Diva masih menatap wajah Dava dari samping. Entah mengapa matanya terasa perih.

"Dava? Lo sayang mama kita kan?"

Tak ada jawaban. Pria ini masih terus saja menatap ke arah balkon.

"Dava? Gue mohon jawab pertanyaan gue."

"Anak mana sih yang gak sayang sama ibunya!?" Kata Dava kemudian menoleh dengan kedua sudut bibir terangkat. Tetapi senyuman itu terlihat sangat tulus dan membuat bulir air mata jatuh dari kedua mata Diva begitu saja.

"Dav, berarti lo udah maafin mama kan? Lo gak salah faham lagi sama mama kan?"

"Hm. Gue udah sadar kalau ternyata gue yang salah faham," hembusan nafas itu terasa lebih ringan. Dava merunduk sesaat lalu kembali menatap kedua mata saudarinya.

"Gue menyesal, Div. Bantu gue agar lebih ringan mengucapkan 'maaf'."

Entah kebahagian macam apa ini. Isakan Diva adalah sebuah kebahagiaan saat ini. Kalimat itu mungkin tak akan keluar dari mulut Dava. Tapi kejaiban seperti apakah ini?

"Gue bangga sama lo, Kak!" Kata Diva ditengah isakannya. Ia memeluk Dava begitu erat kemudian.

Diva melepaskan pelukannya lalu mengusap air mata yang tak disangkanya bisa keluar dari kedua matanya saking senangnya.

"Lo bisa nangis, Div! Kembaran gue yang paling menghemat air mata sekarang keluar juga?" Kekeh Dava saat melihat Diva mengusap air mata itu. Bukan Dava jika bisa berserius lama -lama.

Cassandra (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang