3 hari berlalu, semuanya masih sama. Tak ada yang dapat menemukan siapa dibalik kasus penembakan Cassandra. Bahkan polisi sekalipun, mereka selalu melaporkan hal yang sama setiap hari,
"Mohon kalian bersabar, kami masih belum mendapatkan jejak, dan kami akan terus mencari."
Satu-Satunya orang yang tidak percaya usaha mereka adalah Fano. Pria itu sudah tak sabar dan ingin mencarinya sendiri. Maheslah yang menahan tindakan Fano dan berusaha meyakinkan bahwa polisi akan menyelesaikannya. Dalam 3 hari ini, Fano tak mau pergi ke sekolah dan memilih ingin menemani Cassandra, serta menunggu hasil pencarian polisi. Tapi kali ini Fano tak tahan lagi, hari ini ia harus bertindak sendiri tanpa memberitahu siapapun. Fano akan beralasan untuk bersekolah pada Mahes agar tidak curiga.
Fano menatap lekat sesaat pada Cassandra. Kemudian berdiri mencium kening adiknya yang masih menutup mata entah sampai kapan.
"Aku akan menemukannya. Ku harap kau segera membuka matamu kembali. Aku akan menyayangimu, kita akan menjadi saudara. Cepatlah sadar, Dek." Ujar Fano lembut kemudian beranjak meninggalkan ruangan.
Pintu yang terbuka langsung mengalihkan pandangan Mahes yang diluar ruangan sedang duduk tanpa aktivitas sejak tadi.
"Mau kemana, Fan?"
"Sekolah. Fano akan masuk hari ini."
Mahes tersenyum lega. Akhirnya Fano mau melakukan aktivitasnya lagi. Beberapa hari ini sebenarnya sekolah sudah aktif, Mahes tak punya pilihan lagi dengan keinginan Fano yang tidak mau pergi kemana-mana selain menjaga Sandra. Dan itu dilakukan Mahes juga untuk mencegah Fano yang bisa saja membahayakan nyawanya karena ingin mencari pelakunya sendiri.
"Baiklah, Nak. Ayah janji adikmu akan tetap terjaga."
Fano mengangguk, menyalimi tangan Mahes, kemudian berlalu.
***
Kegaduhan di kelas membuat Diva melangkah keluar, ia ingin mencari tempat sunyi untuk merilekskan pikiran. Diva melewati koridor kelas 11 yamg kemudian berbelok ke kiri menuju taman belakang. Mungkin disana ia akan mendapati udara degar dengan suasana tenang.
"Tugas lo belum selesai."
Mendengar suara yang terdengar berasal dari taman, Diva memelankan langkahnya.
"Gue gak mau tau. Intinya lo harus penuhin tugas itu dulu. Baru gue akan minta papa gue buat kirim lo ke luar negeri."
Suara itu semakin jelas ketika Diva kini semakin dekat dan menyembunyikan tubuhnya dibalik tembok koridor. Seperti dugaan, itu adalah suara Lola. Cewek itu sedang berbicara dengan seseorang di telfon.
"Dia belum mati! Itu berarti lo gagal."
"......."
"Oh, ya. Jadi lo beneran gak mau nerusin pendidikan lo? Iya?! JAWAB GIL!"
"......."
Entah apa jawaban seseorang di telfon tersebut, tapi Diva melihat senyuman sinis di bibir Lola kemudian.
"Bagus. Gue janji ini adalah tugas lo yang terakhir. Dengan syarat kali ini gue gak mau denger lo gagal. Are you sure?"
"........"
"Lo cukup lakuin hal sederhana. Pergi ke Greendy Hospital, cabut selang pernafasannya, lalu menyingkir dari sana. Hari ini, se ce patnya!"
Kaki Diva lemas sesaat, jemarinya kaku namun bergetar. Ia tak menyangka akan mendengar ini semua. Perkataan Lola tentang rumah sakit itu, mati, kegagalan, membuat Diva langsung terfikir pada Sandra. Meskipun Lola tidak menyebutkan nama siapapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cassandra (SUDAH TERBIT)
Teen FictionMenjadi pribadi yang ceria mampu menyamarkan rasa sakit dalam kehidupan. Pernahkah kalian melihat sosok yang tertutup namun sangat ceria? Cassandra, dia adalah sosok itu. Sandra tak bisa bahagia disaat salah satu bagian dari keluarganya begitu memb...