14. Nostalgia.

3.2K 175 0
                                    

Motor trail kesayangan Fahmi membelah jalanan Bandung. Motor yang menjadi saksi perjalanan Fahmi dan Kiki. Kiki satu-satunya wanita yang berhasil mendaratkan bokong teposnya di motor itu, selain Niken yang tidak tepos tentunya. Sebelumnya, Fahmi memang tidak pernah membonceng wanita selain Niken dan Kiki. Karena memang Fahmi tidak memiliki teman dekat wanita, selain Kiki. Begitu juga Kiki.

Di atas motor trail Fahmi mereka merayakan kebahagiaan, saling menguatkan di atas kesedihan, saling merangkul ketika terpukul. Hampir tak terhitung, Kiki sangat sering menangis di atas sana dengan pundak Fahmi sebagai sandarannya.

Seperti saat ini, Kiki tengah merayakan kebahagiannya. Senyum tak henti-hentinya terbit dari bibir mungil dan tipisnya. Kiki senang. Harus berapa kali dia bilang, bahwa Kiki senang sekarang. Dua box celana dalam yang ia inginkan sudah ada dalam genggaman. Presentase Ken untuk tidak sensitif seperti bokong bayi, kini lebih besar. Kiki harus berterimakasih kepada Fahmi. Fahmi, sahabatnya yang galak itu sudah bersedia mengantarkannya mengelilingi beberapa pusat perbelanjaan, Fahmi mengikuti Kiki tanpa ingin menghentikan langkahnya. Berkali-kali Fahmi mengeluh, tapi dia tidak pernah benar-benar menyerah. Berkali-kali Fahmi menahan malu, tapi ketika Kiki tetap ingin mencari, Fahmi selalu siap menemani.

Bagi Fahmi, itu hal biasa. Urat malunya biasa terputus sementara ketika dia bersama Kiki. Gadis mungil yang jika dilihat sekilas nampak begitu sempurna. Parasnya cantik, tubuhnya kecil mungil menggemaskan, matanya jernih, bulu mata yang lentik, pipinya tirus, kulitannya putih bersih, dan dia selalu menjadi bintang kelas. Begitulah Kiki jika tampak dari luar. Tapi, dalamnya? Kiki begitu polos, lugu-lugu menyebalkan. Dia selalu salah paham mengartikan ucapan orang lain. Kiki tidak peka, dan terlalu kekanak-kanakan.

"Fahmi! Nanti mampir di tempat es cendolnya Mang Pena ya!" Suara Kiki setengah berteriak.

Di depan, Fahmi hanya mengangguk.

Fahmi membelokkan sepeda motornya ke kanan, ke arah sekolah menengah pertama mereka. Di depan sekolah itu ada seorang lelaki berusia kira-kira 30tahunan. Mang Pena namanya. Mang Pena sudah berjualan cendol selama hampir 9tahun. Cendol Indramayunya benar-benar ajib! Jangan mencoba jika tidak mau ketagihan! Dulu, setiap pulang sekolah, Kiki selalu membeli cendol Mang Pena. Jika Fahmi sedang tidak ingin minum di tempat, maka Kiki akan membungkusnya. Pokoknya setiap hari Kiki harus meminum cendol itu. Harus!

"Assalamu'alaikum, Maaaang!"

Mang Pena tidak memiliki tenda atau kedai sebagai kios. Dia hanya berhenti di bawah pohon sawo besar yang rindang. Pembeli yang ingin minum cendol di tempatnya, mereka duduk di kursi kayu panjang yang memang disiapkan, tidak jarang juga yang ngesot di sepanjang trotoar. Setidaknya tempat mangkal Mang Pena itu bisa menjadi tempat bernaung dari panasnya kota Bandung, kota Dilan dan Milea. Akankah menjadi kota Fahmi dan Kiki?

"Wa'alaikumussalaam. Gusti Neu Agung! Eta teh Neng Kiki? Meuni geulis pisan sekarang teh."

"Iya dong Mang!"

"Lama nggak pernah kesini."

"Kiki sekolah atuh Mang, kan sekolah Kiki meuni jauh dari sini." Kiki tersenyum ramah.

"Masih sama Fahmi?" Mang Pena terkekeh.

"Fahminya ngikutin terus, Mang." Dengus Kiki.

"Padahal Kiki yang nggak berani sendiri, Mang." Fahmi membela diri.

"Sekarang kan banyak orang jahat, Fahmi! Kiki tuh terlalu cantik buat kemana-mana sendiri." Kiki mengibaskan rambutnya.

Mang Pena hanya terkekeh melihat mereka.

"Nggak berubah." Ujar Mang Pena tiba-tiba.

"Apanya Mang?" Tanya Fahmi.

"Fahmi sama Kiki. Dari dulu berantem terus. Tapi juga sama-sama terus. Heran." Mang Pena sibuk menyiapkan cendol untuk mereka.

Fahmi hanya terkekeh mendengar ucapan Mang Pena.

"Fahmi sama Kiki teh langganan Mamang yang paling serasi, selain Dilan dan Milea."

"Emang Dilan sama Milea pernah beli cendol Mamang?" Tanya Kiki polos.

Fahmi hanya menatap tajam Kiki. Anak itu, selalu saja. Hmmm.

"Iya atuh. Dilan sama Milea teh seminggu sekali selalu kesini." Mang Pena terkekeh.

"Mereka kesini-"

"Kiki, ayo buruan diminum." Perintah Fahmi.

Fahmi sedang tidak ingin mendengarkan ocehan dan pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal dari mulut mungil Kiki.

Kiki menatap Fahmi sejenak. Ia mengangguk dan kembali meneguk cendol Indramayu kesukaannya.

Mang Pena terkekeh melihat aksi mereka. Mamg Pena sendiri juga tidak tahu kenapa Kiki bisa sangat menurut dan jinak jika dengan Fahmi. Setiap Fahmi memerintahkan sesuatu, Kiki selalu melaksanakannya tanpa bertanya 'Kenapa?'.

"Cendol masih 3000, Mang?" Goda Fahmi.

"Sekarang mah naik Mi. Apa-apa mahal." Jawab Mang Pena.

Fahmi hanya mengerucutkan bibirnya membentuk huruf O.

"Tapi omset masih aman kan, Mang?"

"Ya Alhamdulillah masih, Mi. Waktu awal-awalan naik teh sempet turun omsetnya. Tapi sekarang udah normal."

"Yang penting cita rasa tetep dijaga Mang. Mau naik berapa ge kalau udah suka sama cendol Mamang juga tetep dicari. Kaya ni bocah satu." Fahmi menjitak Kiki.

"Ishhh.." ringis Kiki.

Mang Pena kembali terkekeh.

"Nih, Mang." Fahmi menyerahkan uang selembar dengan nominal Rp10.000,- kepada Mang Pena.

"Kiki aja yang bayar." Pinta Kiki.

Fahmi hanya menatap Kiki, meminta penjelasan.

"Kan Fahmi udah anterin Kiki. Jadi ini upahnya."

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang