45. Canggung.

2.5K 197 19
                                    

"Belajar yang benar!" Ucap Keenan saat mereka di samping mobil.

Kiki mengangguk. Dia mencium punggung tangan kekar milik Ayahnya itu.

"Assalamu'alaikum, Ayah!" Kiki melompat untuk bisa mencium pipi Ayahnya.

Tubuh Kiki yang kecil membuatnya kesulitan untuk mencium pipi Keenan. Terlebih Keenan seorang nahkoda kapal, sudah pasti dia memiliki tubuh yang tinggi besar. Sejak kecil cita-cita Keenan memang ingin menjadi seorang nahkoda yang bisa mengelilingi samudera. Dia ingin berlayar dari pelabuhan satu ke pelabuhan yang lain. Dari satu pulau ke pulau yang lain. Dan dari satu negara ke negara yang lain.

Keenan terkekeh.

"Wa'alaikumussalaam."

Keenan masih menatap punggung kecil anaknya itu sampai hilang di tengah kerumunan siswa SMA Laskar. Setelah memastikan Kiki masuk sekolah dengan aman, Keenan masuk ke mobilnya dan meninggalkan sekolah itu.

Kiki berjalan seorang diri menaiki satu persatu tangga di sekolahnya. Kelas Kiki yang berada di lantai dua membuat Kiki mau tidak mau harus menaiki tangga untuk sampai ke sana. Beberapa kali Kiki tersenyum ramah kepada siswa yang berpapasan dengannya.

Kiki belok kiri, berlawanan dengan arah kelasnya.

Kiki masuk ke sebuah kelas yang tidak asing baginya, tapi terasa asing akhir-akhir ini.

"Wahyu, Fahmi mana?"

"Nggak tahu."

"Wahyu masih marahan sama Fahmi?"

"Nggak. Emang gue marahan?"

Kiki tersenyum mendengarnya. Semoga saja Fahmi dan Wahyu benar-benar sudah baikan.

"Tapi Fahmi udah berangkat 'kan?"

Wahyu melirik kursi di sebelahnya.

"Belum keknya."

Kiki hanya mengangguk paham. Dia memutuskan untuk duduk di kursi Fahmi. Memang masih terlalu pagi, jadi wajar jika Fahmi belum berangkat. Kiki sendiri sudah berangkat karena diantar oleh Ayahnya. Entahlah.. pagi ini Kiki merasa bahwa dirinya bangun terlalu cepat. Mungkin sudah tidak sabar ingin ke sekolah bersama Keenan.

Sekitar 7menit Kiki duduk di kursi Fahmi. Seseorang yang ia tunggu akhirnya datang juga.

Muhammad Fahmi Musfiq Amrulloh, dia masuk ke kelas dengan ransel yang tersampir di bahu kanannya. Fahmi memang suka memakai tas seperti itu.

Kiki tersenyum ketika melihat Fahmi masuk ke kelasnya. Tapi sedetik kemudian, senyum itu luntur karena matanya tak sengaja menangkap gadis yang berjalan di belakang Fahmi.

Keadaan memang dapat berubah secepat itu. Satu detik yang lalu, kita bisa merasa sangat bahagia. Tapi detik berikutnya tidak menutup kemungkinan kita menjadi orang yang paling sedih di dunia. Apapun itu, waktu dan semesta lebih berkuasa.

Fahmi berjalan ke mejanya.

"Fahmi baru berangkat?" Tanya Kiki seraya berdiri.

"Hm. Lo ngapain di sini?" Tanya Fahmi.

Naina sendiri sudah duduk di kursinya, di samping kursi Fahmi.

"Ha? Emm, Kiki cuma mau kasih ini." Kiki menyodorkan kotak hitam yang sejak tadi ia genggam.

"Apa?" Fahmi meraihnya.

"Oleh-oleh dari Ayah."

"Om Keenan pulang?"

Kiki mengangguk.

Fahmi menerimanya dan memasukannya ke dalam tas.

"Kalau gitu, Kiki ke kelas ya."

Fahmi hanya mengangguk.

Rasanya Kiki ingin menangis. Kenapa Fahmi digin sekali? Kiki bahkan menggigil ketika di dekatnya.

Kiki tersenyum dan keluar dari kelas Fahmi.

Fahmi menatap punggung kecil itu. Ingin rasanya Fahmi mengantarkan gadis mungilnya seperti biasa. Tapi ada sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat itu. Fahmi harus sabar, Fahmi tahu dia harus lebih sabar.

Kiki menyusuri koridor dengan gontai. Dia tidak tahu kenapa Fahmi seperti itu. Memangnya apa salah Kiki? Jika memang kemarin adalah hal yang merubah Fahmi, tapi kenapa harus Kiki yang terkena imbasnya? Bahkan Kiki sendiri tidak meminta Fahmi untuk mengantarnya.

Kiki ingin menangis. Tapi dia malu. Dia malu menangis di sekolah, dia tidak ingin menangis di depan banyak orang.

Kiki merutuki keadaan. Kenapa dia dan Fahmi menjadi sangat canggung, bahkan bibir mungil yang biasanya menceritakan banyak hal kepada Fahmi pun serasa kelu, semacam tidak ada yang perlu dibicarakan. Semuanya aneh, semuanya berbeda. Kiki tahu itu. Hanya saja dia tidak tahu mengapa keadaan begitu jahat. Takdir tega memisahkan apa yang sudah bertahun-tahun bersamanya. Kiki yakin pasti semesta sedang tertawa, menertawai dirinya. Kiki yang bodoh seperti kata Ira, Kiki yang bahkan tidak berani bertanya kepada Fahmi, sekedar mengucap kata 'kenapa' pun Kiki tidak mampu. Kiki memang lemah, selalu lemah, selama ini Fahmi yang selalu menguatkannya, melindunginya. Jika Fahmi seperti ini, Kiki harus apa? Jika Fahmi yang selalu menghangatkan hatinya berubah menjadi dingin, Kiki bisa apa selain menggigil?

Hati Kiki menggigil. Suhu di antara mereka sudah terlalu rendah. Rasanya Kiki ingin membawa Fahmi ke padang pasir, biar saja berdebu, biar saja Fahmi kelilipan. Asal dengan panasnya dapat mencairkan semuanya. Biarkan saja.

_____

Sejauh ini nggak ada yang komen ya.
Author jadi mikir apa ceritanya emang nggak menarik? Hehe.. maaf soalnya masih belajar 😅

Spam vote dan komentar juga boleh lho 😊

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang