47. Utuh.

2.5K 145 2
                                    

Kiki sudah di rumahnya. Siang ini, Kiki benar-benar dijemput oleh Keenan. Tidak ada celah baginya untuk pulang bersama Nandes atau temannya yang lain, meski menurut Ken adiknya itu tidak memiliki teman.

Jika bertanya mengapa dia tidak pulang bersama Fahmi, itu karena Fahmi memang tidak mengajak Kiki untuk pulang bersamanya. Kebiasaan yang saling menunggu, Kiki yang menunggu Fahmi di kelasnya dan sebaliknya itu sudah tidak terjadi. Kiki sendiri tidak tahu mengapa sebuah kebiasaan bisa berhenti begitu saja. Bukankah sebuah kebiasaan seharusnya terus berjalan? Seperti itu setiap hari, tentunya.

"Jam tangannya udah dikasih Fahmi?" Tanya Keenan saat mereka sedang berkumpul di ruang keluarga.

"Udah." Jawab Kiki sembari mengunyah keripik ubi yang ada di tangannya.

"Dek, itu siapa sih yang di TV?" Tanya Ken.

Pertanyaan Ken membuat Kiki menatap televisi, dan Ken dapat dengan bebas melahap keripik ubi yang ada di tangan mungil adiknya.

"Ishh! Abang! Kalau jari Kiki kegigit gimana?!"

"Biar sekalian Abang kunyah."

"Abaaang!" Kiki mencubit lengan Ken.

Keenan hanya terkekeh melihat kedua buah hatinya. Dia sangat bahagia. Rumah adalah tempat ternyaman yang selalu menjadi pelabuhan terakhir baginya. Dia selalu ingin pulang karena ada keluarga yang memberi tenang disetiap kepulangan. Keluarga yang manis, anak-anak yang selalu membuatnya tertawa, dan istri yang selalu membuatnya tersenyum. Lengkap sudah.

"Ayah, Bang Ken nggak pernah mau antar jemput Kiki."

"Loh, kenapa?"

"Temen-temen Kiki tuh agresif Yah, Ken nggak suka." Dengus Ken.

"Enggak kok, Bang Ken aja yang suka tebar pesona."

"Abang mah nggak usah tebar pesona juga udah kesebar sendiri pesonanya."

Kiki dan Ken terus saja berdebat tidak penting. Keenan menikmati suara melengking dari putri bungsunya itu. Di antara Ken dan Kiki, memang hanya Kiki yang berlebihan. Dia suka berteriak tidak jelas. Dan suaranya memenuhi seluruh ruangan di rumah.

"Udah jangan berantem gitu. Ujung-ujungnya nanti ada yang nangis." Peringat Amira.

"Palingan juga Kiki yang nangis." Cibir Ken.

"Kiki enggak cengeng, ya! Abang tuh suka fitnah-fitnah Kiki begitu, dih! Dosa tahu!"

Ken mendelik. Fitnah dari mana? Padahal jelas-jelas Kiki itu cengeng dan manja.

"Ayaaah, Abang fitnah Kiki, masa." Kiki mengadu kepada Ken.

Selain cengeng dan manja, Kiki memang tukang mengadu.

"Mulai kan, ngaduan."

Ken hanya terkekeh menanggapi aduan Kiki. Sebisa mungkin Ken tidak ingin membela mereka, takut nanti mereka menjadi salah pengertian.

"Ayah mau ke rumah Om Somad dulu. Adek mau ikut?"

Kiki tercekat. Hatinya ingin berkata iya, tapi entah kenapa otaknya melarang. Kiki ingin ke rumah Somad, Kiki rindu dengan Somad, Niken, dan anak semata wayangnya. Kiki rindu mereka. Kiki rindu tidur di kasur berbalut sprai Arsenal itu, Kiki rindu menghabiskan makanan ringan di depan TV di rumah minimalis itu, Kiki rindu mengganggu Niken, menemani Somad membersihkan kandang burungnya. Kiki rindu itu semua.

"Emmm, Kiki di rumah aja sama Bunda."

"Tumben nggak ikut?" Tanya Amira.

Kiki hanya menggeleng dan memamerkan gigi putihnya.

"Kiki mau temani Bunda aja."

"Ck. Pencitraan lo!" Ken menoyor kepala Kiki.

"Abaaaaang!" Rengek Kiki.

"Abang jangan gitu, songong." Peringat Amira.

Ken hanya tertawa menutupi rasa bersalahnya, "Maaf, Bun."

Amira hanya menggeleng lemah melihat tingkah kedua buah hatinya itu.

"Adek ikut sana, sekalian kasihin kue yang Bunda  pesan di Tante Diana. Kasih ke Mama Niken, ya." Amira berjalan ke dapur untuk mengambil kue itu.

"Ta-tapi.."

Ken menatap Kiki dan mengangguk, meyakinkan Kiki agar Kiki ke rumah Fahmi. Kiki menghela nafas berat ketika mendapati kode dari Ken.

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang