30. Dari Yang Maha Kuasa

2.6K 151 0
                                    

"KEEYARA!"

Kiki yang merasa dipanggil pun menoleh. Senyum Kiki merekah saat lelaki jangkung yang meneriaki namanya itu telah berada di depannya.

"Kakak baru berangkat?"

Satu-satunya orang yang dipanggil Kakak oleh Kiki, siapa lagi jika bukan Nandes.

Nandes tersenyum.

"Iya. Ke kelas bareng yuk." Ajak Nandes.

"Sorry, kelas lo lantai tiga." Ucap Fahmi dingin.

Seperti biasa, Kiki berangkat bersama Fahmi. Dan Fahmi yang seharusnya mengantarkan Kiki ke kelas. Fahmi tidak ingin ada orang lain yang mengantarkan Kiki.

Nandes hanya menaikkan alisnya ketika mendengar ucapan Fahmi.

"Yuk Kee, ke kelas bareng." Ulang Nandes.

Kiki tersenyum dan mengangguk.

"Fahmi, Kiki ke kelas sama Kak Nandes ya. Fahmi ke kelas gih. Ketemu di kantin ya." Kiki melambaikan tangannya kepada Fahmi.

Fahmi diliputi amarah. Dia tidak suka keadaan ini. Dia benci gadisnya berjalan dengan orang lain. Dia benci sosok bertubuh jangkung yang ada di samping gadis mungilnya itu.

Fahmi masih terdiam, terus menatap punggung kecil Kiki sampai dia menaiki tangga ke lantai dua.

Bukan pagi yang seperti ini yang Fahmi inginkan. Bahkan pagi ini lebih menyeramkan dari gelapnya malam yang memenjara bayangan Kiki di sana. Pagi ini, Nandes seperti senja. Indah bagi Kiki. Namun seperti senja, tidak ada maksud lain selain memisahkan siang dan malam. Tidak ada tujuan lain baginya selain memisahkan Fahmi dan Kiki.

Fahmi berjalan ke kelasnya. Dia sama sekali tidak ada semangat untuk bersekolah hari ini.

"Udah berangkat lo, Mi?" Tanya Thole yang telah selesai menyalin tugasnya.

Fahmi sama sekali tidak menjawab. Dia langsung duduk di kursinya tanpa berniat untuk mengatakan sesuatu.

"Fahmi ngapa dah?" Tanya Satya yang sudah datang lebih dulu.

Wahyu yang sudah duduk di tempatnya pun hanya mengedikkan bahu.

Pelajaran pertama sudah dimulai. Bu Nite, guru Matematika IPS sudah masuk sejak tiga menit yang lalu.

Bu Nite menjelaskan materi dengan suaranya yang keras dan tegas. Guru bertubuh kecil itu terlihat imut jika sedang diam, usianya sudah hampir 28tahun, tapi dia belum menikah. Parasnya cantik, mungkin karena dia terlalu pemilih. Bu Nite merupakan salah satu guru yang perfeksionis. Semua tugas harus dikerjakan dengan rapi dan dikumpulkan tepat waktu.

"Nanti istirahat mabar yuk!" Ajak Abas kepada Thole yang duduk di belakangnya.

"Ogah ah! Lo sering keluar. Apalagi kalau cabe-cabean lo pada chat." Cibir Abas.

"Yaelah. Cuma bales chat bentaran ini."

"Ogah!"

"Nanti gue traktir pantat tempe deh!"

Mata Thole berbinar mendengar tawaran dari Abas.

"Deal!"

"Deal! Nan-"

"Abas!" Suara tegas itu memotong perkataan Abas.

"Abas! Kamu sedang apa? Kenapa daritadi menghadap ke belakang?"

"Ha? Emm, anu, itu, saya lagi, lagi ngajarin Thole, Bu." Jawab Abas dengan sedikit berpikir.

"Ngajarin Thole ya?"

"Iya dong, Bu!" Abas tersenyum bangga.

"Kalau begitu, kerjakan soal nomor empat."

"Ha?" Abas terkejut. Dia sama sekali tidak mengerti bagaimana cara mengerjakan soal itu. Bahkan dia tidak mendengar apa yang Bu Nite jelaskan.

Muka bingung Abas mengundang gelak tawa seluruh kelas, kecuali Bu Nite.

"Kenapa? Kamu kan bisa ngajarin Thole. Masa ngerjain ini nggak bisa." Remeh Bu Nite.

"Emm, bisa dong Bu! Masa yang ngajarin nggak bisa." Abas membela diri, meski ia tahu bahwa jawabannya itu sama dengan bunuh diri.

"Ya sudah, tunggu apa lagi?"

Abas berdiri, dia langsung menarik buku Satya dengan cepat. Untung saja Satya sudah mengerjakan contoh soal itu, meski dia hanya menyontek milik Wahyu tadi.

Abas dengan percaya diri menyalin jawaban Wahyu yang berada di buku Satya. Seluruh penghuni kelas hanya diam menatapnya.

"Bagus. Jawaban kamu benar." Puji Bu Nite.

"Iya dong Bu, makanya saya tadi ngajarin Thole. Thole itu beruntung Bu karena bisa diajarin sama saya. Jadi dia nggak tersesat." Lagi-lagi ucapan Abas membuat tawa kelas menjadi pecah.

"Ibu juga beruntung punya murid kaya kamu."

"Jadi, kamu dapat angka 1,25 itu dari mana, Abas?" Lanjut Bu Nite.

"Ha? I-itu a-anu Bu." Abas menatap kembali tulisannya di papan tulis. Bahkan dia tidak sadar jika telah menuliskan angka itu.

"Saya dapat da-dari dari Yang Maha Kuasa, Bu." Jawab Abas sekenanya.

Mata Bu Nite membelalak sempurna, dia tidak menyangka jika muridnya ini akan menjawab seperti itu. Lain halnya dengan teman-teman Abas, mereka semua tertawa. Termasuk Fahmi yang suasana hatinya sedang tidak baik.

"Kalau begitu, sekarang kamu ke perpustakaan! Rangkum bab yang dipelajari hari ini supaya Yang Maha Kuasa ngasih lebih ke kamu!"

"Semua bab yang dipelajari hari ini, Bu?" Abas memastikan.

"Iya, semuanya! Sebelumnya kembalikan dulu buku milik Satya!"

"Loh, Ibu kok tahu kalau ini buku Satya? Ibu cenayang ya?" Abas bertanya dengan wajah polosnya.

"Iya! Saya cenayang! Mau kamu saya santet?! Ke perpustakaan, sekarang!"

Suara teriakan Bu Nite benar-benar membuat Abas terkejut. Spontan dia pergi ke kursinya untuk mengembalikan buku Satya dan mengambil buku juga bolpoin miliknya. Dia buru-buru keluar kelas, meninggalkan teman-temannya yang masih tertawa.

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang