49. Tamu Tak Diundang (2)

2.4K 144 0
                                    

Kiki duduk di samping Keenan setelah menaruh piring berisi kue di atas meja. Ternyata Somad sudah bergabung, mungkin perutnya yang melilit sudah sedikit membaik.

"Kiki, Papa kira nggak ikut." Somad menyapa Kiki.

"Kiki tadi di dapur Bah. Oh iya, ini kue dari Bunda."

"Pesan di tempat Diana?" Tanya Somad sembari mengambil sepotong kue.

"Iya dong, Bunda mana bisa bikin kue." Dengus Kiki.

Keenan dan Somad hanya terkekeh mendengarnya.

"Fahmi mana? Kok nggak kelihatan?" Keenan celingukan mengedarkan pandangannya.

Kiki diam penuh arti. Keenan memang ayah terbaik. Lihat, bahkan dia mengerti apa yang Kiki pikirkan, Keenan tahu apa yang ingin Kiki tanyakan, tapi tidak berani. Kiki senang kalimat itu terlontar dari bibir ayahnya. Meskipun tidak sengaja dan tidak bermaksud untuk membantu Kiki sedikitpun. Keenan bertanya tentang keberadaan Fahmi murni dari dirinya, karena Fahmi memang tidak terlihat batang hidungnya.

"Fahmi latihan futsal dari tadi belum pulang." Niken berjalan dari dapur dengan nampan berisi gelas.

"Siang-siang gini?" Keenan ternganga.

"Fahmi mah mending futsal di siang bolong dari pada di perpustakaan, Yah." Kiki menyambar.

Somad terkekeh.

"Fahmi memang paling nggak suka sama perpustakaan."

"Ngomong-ngomong toko kue Diana itu semakin besar ya." Imbuh Somad saat mengambil kue lagi.

Sepertinya somad ketagihan.

"Kemarin baru buka cabang lagi di dekat BRI." Ucap Niken.

"Anaknya Tante Diana itu kakak kelas Kiki." Kiki memberi tahu.

"Satu sekolah sama Kiki? Bukannya anak Diana itu masih SD?" Tanya Niken.

"Nanda itu anak kedua Tante Diana, kalau anak pertamanya kak-"

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalaam, Bunda?" Bukannya melanjutkan ucapannya, Kiki justru terkejut melihat Amira yang datang ke rumah Fahmi.

"Amira? Ayo masuk." Niken menghampiri Amira untuk mengajaknya masuk.

"Kamu jarang banget lho ke sini."

"Nggak pernah malah." Amira terkekeh.

"Rumah hadapan gini nggak pernah ke sini?" Keenan menatap Amira.

"Ya kita kan udah ketemu di arisan ya, Mir."

"Iya, lagian beberes rumah aja kerepotan, masa mau main-main."

"Malah bagus kalau mereka nggak ketemu, Nan. Ujung-ujungnya cuma ngomongin orang." Sungut Somad.

"Pantesan ya penghuni neraka tu banyaknya wanita." Keenan menanggapi Somad.

"Kiki wanita." Gumam Kiki pelan seperti sedang memikirkan seuatu.

"Ayah, Kiki wanita 'kan?" Kiki bertanya kepada Keenan.

Keenan menatap anak gadisnya.

"Iya dong. Anak Ayah cuma dua. Pertama Abang, laki-laki, kedua Adek."

"Tapi Kiki nggak mau jadi penghuni neraka." Mata Kiki berkaca-kaca.

"Kata Bu Guru Agama Kiki, di neraka itu panas. Kiki nggak mau."

Keenan mengelus rambut Kiki.

"Jadi anak berbakti sama Ayah sama Bunda. Jangan lupa sholat. Jangan melanggar larangan Allah."

"Bunda tadi ke sini mau ngasih tahu Adek kalau di rumah ada tamu." Amira yang ingat dengan tujuannya pun bersuara.

"Siapa?" Tanya Keenan.

"Teman Kiki. Ndes Ndes gitu. Siapa ya namanya aku lupa."

"Kak Nandes, Bun?"

"Aah, iya. Nandes. Udah sana samperin dulu. Kasihan nunggu dari tadi."

Kiki berdiri dan berlari. Dia harus cepat pulang. Rupanya Nandes tidak main-main dengan ucapannya. Nandes benar-benar ke rumah. Ini bukan hal baik karena Keenan, Ayah Kiki ada di rumah. Kiki takut ayahnya marah. Kiki tahu betul jika Keenan tidak mengijinkan Kiki untuk berpacaran.

"Tapi kan Ayah nggak bolehin Kiki pacaran. Eh, tapi kan Kiki sama Kak Nandes cuma temen."

Sepanjang perjalanan ke rumah, Kiki terus memikirkan hal itu. Dia takut Keenan salah paham dan marah padanya. Kiki tahu betul bagaimana sifat ayahnya. Kemauan dan perkataan Keenan sama sekali tidak bisa dibantah, persis dengan Fahmi.

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang