Hari pertama masuk sekolah setelah tiga hari di rumah sakit.
"Besok Ayah balik." Ucap Keenan saat mereka sarapan.
"Nggak bisa diundur gitu, Yah?" Tanya Kiki.
"Nggak bisa Dek, Ayah cutinya cuma satu minggu."
Kiki sebenarnya sedih, tapi hal seperti ini sudah biasa terjadi. Keenan kembali berlayar disaat rindu di dada Kiki belum habis terkikis.
Keenan selalu menyisakan sedikit dan menambah rindu-rindu itu. Entah kapan Keenan akan menghapus semuanya. Kiki menunggu saat itu.
Ken sudah terbiasa, sebagai anak laki-laki, dia tidak terlalu memikirkan hal ini. Baginya, ini adalah siklus kehidupan. Setiap orang perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, juga keluarganya. Dan ini adalah pekerjaan ayahnya, mau tidak mau, ia harus siap menerima resikonya. Kecuali kalau dia ingin tidak makan dan tidak memiliki tempat tinggal.
"Abang kuliah yang benar. Cepat skripsi, jangan bolos terus."
"Ck! Masih lama, Yah. Ken baru semester berapa dih, udah suruh skripsi aja." Dengus Ken.
Kiki terkikik geli.
Keenan tidak menanggapi putra sulungnya.
"Adek, sekolah yang benar. Jangan lupa belajar. Jangan sampai nilainya turun."
"Iya, Ayah." Kiku mengangguk paham.
"Kalau perlu les, minta sama Bunda."
"Kiki les kalau naik kelas XII aja, ya?" Kiki memohon.
"Iya, terserah Adek pengen mulai les kapan. Nanti biar Bunda yang cariin tempat les buat Adek." Kata Amira.
"Jangan, Kiki mau les di tempat Fahmi les aja."
"Kaya Si Fahmi mau les aja. Futsal aja nggak sempat." Cibir Ken.
Kiki tampak berpikir.
"Iya, ya. Fahmi mana mau les." Kiki bergumam.
"Udah-udah. Sana berangkat." Perintah Amira.
"Bang, anterin Kiki, dong."
"Nggak."
"Abaaang.."
"Ngga mau, Ki. Gue males sama temen-temen lo yang menye itu."
"Ay-"
"Assalamu'alaikum."
Seseorang telah memotong ucapan Kiki.
"Wa'alaikumussalaam." Amira beranjak untuk memeriksa siapa yang datang.
"Bangkit, kan?" Tanya Amira.
Ya, orang itu adalah Bangkit. Adik kelas yang telah melepas hidung Kiki dengan bola basketnya. Adik kelas yang selalu dihukum. Adik kelas yang tampan, teman baru Kiki.
Bangkit mencium tangan Amira.
"Iya, Tante. Saya Bangkit. Kiki ada, Tan?"
"Ada, lagi sarapan. Ayo masuk! Ikut sarapan sama-sama."
"Aah, nggak usah repot-repot Tante. Saya sudah sarapan." Tolaknya sopan.
"Ya udah. Tunggu sebentar, ya."
"Tuh, ditungguin Bangkit." Amira kembali duduk di kursinya.
"Ba-Bangkit?" Ulang Kiki dengan terbata.
Kiki langsung berlari ke ruang tamu.
"Bangkit?" Panggil Kiki pelan.
Bangkit berdiri dan tersenyum.
Ada memar di sudut bibirnya. Memar yang mengalihkan fokus Kiki.
"Bibir Bangkit, memar?" Tanya Kiki.
"Biasa."
"Bangkit berantem? Sama siapa?"
"Sama anak sekolah lain, kemarin waktu pulang sekolah. Lo belum mau berangkat?"
"Ck! Kebiasaan berantem-berantem gitu. Udah."
"Bangkit ngapain ke sini pagi-pagi?"
Dasar Kiki tidak peka.
"Jemput lo."
"Tapi Kiki nggak minta." Kiki bingung.
"Gue yang pengen."
Bukannya berpamitan dan mengambil tas, Kiki justru terpaku mencerna ucapan Bangkit.
"Niat berangkat nggak, sih!" Bangkit jengkel dengan Kiki yang loading lama.
"E-eh?" Kiki langsung berlari mengambil tas dan berpamitan.
"Yuk!" Kiki melangkah keluar rumah.
"Ayah lo, mana? Gue belum ijin."
"Udah Kiki ijinin."
"Oh." Bangkit justru berjalan mendahului Kiki.
Motor besar Bangkit membelah jalanan Bandung. Menyalip pengendara lain, sesekali disalip oleh pengendara lain. Bangkit mengemudi motornya dengan kecepatan rata-rata. Masih terlalu pagi, tidak perlu tergesa-gesa.
Bangkit dan Kiki sampai di sekolah.
Tiga hari Kiki tidak masuk, dan saat dia kembali masuk, dia berangkat bersama Bangkit. Tentu saja dia menjadi pusat perhatian.
"Gue anter ke kelas." Ucap Bangkit setelah melepas helmnya.
"Nggak usah. Kiki sendiri aja."
"Lo bisa nggak sekali aja nggak usah nolak? Sekali aja jangan ngeyel?"
Kiki langsung diam.
"Gue anter ke kelas." Ulang Bangkit.
Kiki mengangguk.
Dia berjalan mendahului Bangkit. Seperti tempo lalu, Bangkit berjalan di belakang Kiki.
"Bangkit kenapa ngikutin Kiki, sih?"
"Kan gue nganter lo, Ki."
"Kenapa jalan di belakang? Kiki nggak enak."
"Gue lagi jagain lo dari belakang. Nanti kalau ada yang mau celakain lo dari belakang, kan gue tahu."
"Ck!" Kiki hanya mendecak dan kembali berjalan.
"Keeyara Asyqilla." Panggil seseorang di persimpangan tangga lantai dua.
Seseorang dengan tubuh tinggi tegap bersandar di dinding. Tangannya menyilang di dada. Ransel tersampir di bahu kanannya.
Orang itu menatap nyalang ke arah Bangkit. Bangkit membalas tatapannya tak kalah nyalang.
"Gue ke rumah lo, dan lo udah berangkat. Tapi kenapa baru sampai?" Tanya orang itu.
"Posesif." Desis Bangkit yang hanya dibalas dengan lirikan tajam.
"Maaf. Tadi Bangkit naik motornya pelan-pelan. Fahmi ke rumah Kiki?"
"Hm."
"Ki, gue balik ya. Pawang lo kan udah ada."
Kiki terkekeh.
"Makasih ya."
Bangkit tidak menjawab. Dia langsung membalikkan badan dan menuruni tangga ke kelasnya.
"Kita perlu bicara Ki. Banyak yang harus kita omongin." Ucap Fahmi.
"Kita kan juga lagi bicara." Wajah Kiki polos.
Fahmi menghela nafas.
"Ayo ke kelas." Fahmi menarik tangan Kiki.
Menyusuri koridor dengan tangan yang ditarik oleh Fahmi membuat Kiki menjadi pusat perhatian. Dalam satu pagi, Kiki sudah menjadi pusat perhatian sebanyak dua kali.
Semua orang memperhatikan Kiki karena dia jarang bersama Fahmi akhir-akhir ini. Dan sekarang, Kiki bersama Fahmi dengan Fahmi yang menarik tangannya. Rasanya seperti dua sejoli di sekolah itu telah kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
K E E Y A R A [Completed]
Teen FictionInsyaaAllah lucu 😂 InsyaaAllah ndak nyesel kalo baca. DILARANG KERAS PLAGIAT CERITA SAYA!!!!!!! Kalian boleh membaca, tapi tolong, jangan diplagiat. Author nulisnya juga nggak gampang, perlu berbulan-bulan buat selesaiin cerita ini. Jadi tolongg, s...