86. Semangat, Pacar!

2.8K 170 8
                                    

Dua hari yang tersisa Kiki habiskan untuk belajar, belajar, dan belajar. Dia merutuki dirinya sendiri yang bahkan lupa jika ada olimpiade. Kiki memang gadis yang ceroboh!

Hari ini adalah hari yang Kiki tunggu-tunggu, hari yang menegangkan. Hari yang akan menjadi bukti seberapa pintar Kiki si bintang kelas.

Lusa kemarin, Fahmi menembaknya. Tidak ada yang berubah dari Fahmi. Dia tetap Fahmi yang dulu, yang menjaga dan menyayangi Kiki sepenuh hatinya.

Kiki sudah duduk di dalam bus bersama puluhan siswa Laskar yang akan mewakili sekolah mereka. Kiki duduk di kursi nomor tiga dari depan, dekat jendela. Dia duduk bersama Annisa.

"Kamu udah belajar?" Tanya Annisa.

Kiki mengangguk mantap. Waktu tiga hari yang ia manfaatkan semaksimal mungkin. Kiki percaya dia bisa.

"Ya Allah, Kiki lupa." Kiki menepuk dahinya.

"Kenapa?"

"Kiki belum minum susu kotak."

Annisa mengernyit.

"Kiki harus minum itu biar menang."

"Ha?"

"Kiki selalu kasih susu kotak ke Fahmi setiap Fahmi mau tanding, terus Fahmi selalu menang. Berarti Kiki juga harus minum susu kotak biar menang."

"Bentar, ya! Kiki beli dulu." Kiki buru-buru keluar dari bus.

"Ki? Mau ke mana?" Teriak Annisa.

Kiki tidak menghiraukannya, dia terus berlari ke kantin.

Di kantin, Fahmi dan teman-temannya sedang berkumpul.

"Ki? Lo ngapain di sini?" Fahmi heran.

"Kiki belum minum susu kotak."

"Ngapain harus minum susu kotak?"

"Biar menang!" Kiki buru-buru membeli susu.

"Ya Allah!" Fahmi mengusap wajahnya kasar.

Setelah Kiki menerima susunya, Kiki sibuk merogoh uang di saku kemejanya. Fahmi yang tidak sabar langsung mengeluarkan uang di sakunya. Dia memberikannya kepada penjual susu kotak itu.

"Kebanyakan, Den!" Teriak penjual itu karena Fahmi sudah menarik Kiki pergi.

"Nanti aja, Mang!" Teriak Fahmi.

Langkah Kiki berkali-kali terhenti karena dia sibuk menusukkan sedotan ke dalam kotak susu. Kiki yang terburu-buru dan grusa-grusu membuatnya selalu gagal memasukkan sedotan.

Fahmi mendengus kasar. Dia menggendong Kiki ala bridal style, tangan kirinya berada di tengkuk Kiki, dan tangan kanannya berada di bawah lutut Kiki.

"Kelamaan! Lo mau ketinggalan bus terus nggak ikut olimpiade?"

Kiki yang berhasil menusukkan sedotan pun langsung meneguk susu itu.

"Ya abis sedotannya susah." Gerutu Kiki.

"Sekali aja, jangan bego. Bisa?"

"Kok Fahmi ngatain Kiki bego, sih?!"

Fahmi terus memarahi Kiki di sepanjang perjalanan. Dalam keadaan seperti ini, jarak antara kantin dan parkiran terasa begitu jauh. Bahkan Fahmi sudah berlari, tapi tetap saja belum sampai.

Fahmi tiba di parkiran, dia naik ke bus dengan Kiki yang masih digendongannya.

"Mana bangku, lo?" Tanya Fahmi saat di dalam bus.

Fahmi tidak peduli jika dia menjadi pusat perhatian, bahkan seluruh orang yang ada di bus tengah menatapnya.

Kiki menunjuk tempat duduknya.

Fahmi berjalan mendekati Annisa, menurunkan Kiki di sana.

Annisa membulatkan mata ketika melihat aksi Fahmi.

"Makasih." Kiki nyengir kuda.

Fahmi hanya menyentil dahi lebar Kiki.

"Ishhh! Sakit tahu!" Dengus Kiki sembari mengelus dahinya.

Cupp!

Fahmi mencium kening Kiki yang baru saja dia sentil.

"Semangat, pacar!" Fahmi mengacak puncak kepala Kiki sebelum dia turun dari bus.

Lagi-lagi Kiki dibuat mati kutu oleh Fahmi. Pergerakan Fahmi terlalu cepat, bahkan Kiki tidak mampu menyeimbanginya.

Seluruh siswi yang ada di bus berteriak histeris ketika kening Kiki dicium oleh Fahmi.

"Ki?" Annisa menyentuh tangan Kiki, menyadarkan Kiki dari lamunannya.

"E-eh?" Kiki terkejut.

"Nggak duduk?"

Kiki diam dan langsung duduk di tempatnya.

"Cie, disemangatin pacar." Goda Annisa.

Pipi Kiki memerah.

Pacar? Kiki merasa aneh ketika mendengar kata itu. Terlebih kata itu diperuntukkan untuk Fahmi. Kiki masih belum percaya jika dia menjadi pacar Fahmi. Rasanya masih seperti mimpi, karena tidak ada yang berubah dari seorang Muhammad Fahmi.

"Blushing?" Goda Annisa lagi.

Kiki menangkup wajahnya. Menutupi rona merah di pipinya.

Annisa terkekeh, "Kamu lucu, ya. Pantesan Fahmi suka sama kamu."

"Annisa, diem, deh!" Kiki semakin menutup wajahnya.

Annisa masih terkekeh.

Bus mereka berjalan, mengantarkan puluhan siswa ke SMA Wijaya. Tempat diselenggarakannya OSN, Olimpiade Sains Nasional.

Hampir satu jam perjalanan, bus yang KiKi tumpangi akhirnya sampai di SMA Wijaya.

Kiki dan puluhan siswa lain turun. SMA Wijaya sangat mewah. Lebih dari sekolah Kiki. Sudah banyak murid dengan seragam beragam yang ada di sana. Sepertinya bus Kiki adalah bus terakhir, mungkin karena ulah Kiki.

Kiki sudah duduk di ruangan bersama kandidat-kandidat yang lain. Hari ini, semua orang di ruangan itu bersaing untuk membuktikan siapa yang paling baik, siapa yang paling menguasai Kimia.

Kiki berdo'a sebelum mengerjakan soal. Beberapa wajah terlintas dibenaknya. Keenan yang saat ini sedang berlayar, Amira yang berada di rumah, Ken yang sedang di kampus, Ira di kelas, teman-teman Kiki di sekolah, dan Fahmi, seorang lelaki yang tiga hari terakhir menyandang status sebagai kekasihnya, Fahmi yang pagi-pagi buta menggendong Kiki hanya agar Kiki tidak ditinggal oleh rombongan olimpiade.

Kiki menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengerjakan soal.

Kiki masih berkutat dengan ratusan soal Kimia di depannya. Kiki memiliki tingkat fokus yang tinggi. Saat dia sudah fokus pada satu objek, dia tidak akan memikirkan hal lain di luar objek itu. Kiki hanya memikirkan rumus-rumus dan senyawa yang dia tahu.

Hampir dua jam Kiki di kelas dengan puluhan kontestan lainnya. Masih ada delapan soal yang belum Kiki kerjakan. Kiki masih ragu, Kiki merasa jawabannya kurang meyakinkan.

Kiki terus menghitung, sampai akhirnya menemukan jawaban final. Beberapa kali hitungan dan jawabannya sama untuk beberapa nomor, maka Kiki yakin untuk menjawab dengan jawaban itu. Namun beberapa kali hitungan dan memperoleh jawaban yang berbeda, membuat Kiki harus berpikir lebih keras.

Seluruh soal sudah terjawab dengan sempurna. Sebelum keluar dari ruangan, Kiki kembali berdo'a, memohon hasil yang terbaik.

Kiki ingat dengan ucapan Fahmi bahwa hasil tidak pernah menghianati proses.

"Semoga tidak ada penghiatan di antara kita, ya, Kimia." Gumam Kiki sebelum dia mengelus lembar jawab itu, dan keluar dari ruangan.

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang