64. Hari Pertama

2.5K 133 0
                                    

Dua sejoli berjalan dengan tergesa-gesa. Pasangan paruh baya itu tidak bisa memikirkan hal lain kecuali putri kecilnya. Putri kecil yang sangat mereka sayangi.

Seorang lelaki yang berprofesi sebagai nahkoda kapal itu tengah berbincang dengan teman lamanya saat ponsel di sakunya berdering.

Apapun sakitnya, mendengar putrinya masuk rumah sakit adalah kabar buruk. Mungkin karena tempat itu selalu menjadi tempat-tempat yang menyeramkan. Seseorang yang berada di sana tentu saja tidak baik-baik saja. Sedangkan setiap orang ingin dirinya juga keluarganya dalam keadaan baik-baik saja.

"Abang! Gimana Adek?!" Amira dengan terengah memasuki ruangan Kiki dirawat.

"Nggak apa-apa, Bunda." Ken mencoba menenangkan Bundanya.

"Kiki tidur." Ucap Ken lirih.

"Dokter bilang, Kiki harus dirawat di sini beberapa hari sampai lukanya membaik. Menghindari infeksi, katanya."

Amira mengangguk mengiyakan. Apapun, bagaimanapun, asal Kiki lekas sembuh, akan dia lakukan.

"Kamu siapa?" Tanya Keenan dengan nada dingin saat melihat Bangkit.

Keenan ini tetap saja posesif kepada Kiki, bahkan saat keadaan seperti ini.

"Saya Bangkit, Om. Teman Kiki." Bangkit menyalami Keenan dan Amira.

"Bangkit yang bawa Kiki ke sini, Yah. Bangkit juga yang jemput Ken ke rumah." Jelas Ken.

Keenan hanya mengangguk paham.

Keenan duduk di sofa yang berada di ruangan Kiki. Sekhawatir apapun, Keenan tetap tenang. Mungkin memang begitu karakter seorang ayah. Memeluk tanpa menyentuh, merangkul dari jauh.

Berbeda dengan ibu, karakter seorang ibu lebih lembut, mereka sangat ekspresif. Jika sedih, mereka menangis, bahagia pun mereka juga menangis. Rasanya seperti murah sekali air mata mereka. Anehnya, seberapa banyak dia menangis tetap tidak bisa kering. Meskipun begitu, jangan sekali-kali menyakiti hatinya.

Amira duduk di kursi samping ranjang Kiki. Dia terus menatap wajah putri kecilnya. Darah sudah berhenti mengalir, tapi nafasnya terdengar sangat lemah. Mungkin hidungnya perih ketika dipakai untuk bernafas.

Ken berdiri dengan bersandar dinding di belakang Amira. Sedangkan Bangkit, dia berjongkok di dekat pintu, menyandarkan punggungnya di dinding.

"Bangkit, makan dulu, yuk." Ajak Ken.

"Ntar, Bang."

"Kalian belum makan?" Tanya Amira dengan suara lemahnya.

"Belum, tadi Ken di rumah lagi njemur terus Bangkit datang. Bangkit juga pasti belum makan, dia pulang sekolah langsung ke sini."

"Ya udah, kalian makan dulu. Biar Bunda sama Ayah yang jaga Kiki." Perintah Amira.

Ken dan Bangkit pun mengiyakan. Jika boleh jujur, Bangkit memang menahan lapar sejak tadi. Bagaimana tidak, waktu istirahatnya ia gunakan untuk tidur, bangun tidur ia dihajar Fahmi, setelah itu ia menggendong Kiki sampai mendapatkan taksi. Bayangkan saja betapa Bangkit kehilangan tenaganya.

"Gue kira Kiki nggak bakal punya temen." Ucap Ken di sela-sela makannya.

Ken dan Bangkit memutuskan untuk makan di kantin rumah sakit saja, agar tidak terlalu jauh dari ruang rawat Kiki.

"Eh?"

Ken terkekeh.

"Dari dulu Kiki cuma sama Fahmi terus, jadi ya gue mikirnya dia nggak punya temen."

Bangkit ikut terkekeh.

"Gue juga temen baru Kiki, Bang. Baru banget."

"Gue kenal Kiki juga waktu dia kelepas bola basket gue. Mungkin kalau orang lain yang kena, mereka bakal maki-maki gue abis-abisan, tapi waktu itu Kiki nggak maki-maki gue. Dia cuma nangis. Ajaib emang." Bangkit mengingat kejadian itu.

"Kiki mana ngerti caranya maki-maki orang."

"Polos banget adek lo, Bang."

Ken terbahak.

"Antara polos sama bego, sih."

Bangkit terbahak mendengar penuturan Ken.

"Gue nggak tahu sebenarnya apa yang terjadi sampai Fahmi tiba-tiba mukulin lo gitu aja. Gue kenal Fahmi, dia nggak mungkin gegabah kaya gitu kalau nggak ada apa-apa sebelumnya. Fahmi tipikal orang yang lebih mending ngalah dan diem, kecuali kalau emang keterlaluan."

"Ya mungkin yang kemarin itu termasuk keterlaluan bagi dia, Bang. Ya keterlaluan juga sih, menurut gue." Bangkit menertawakan dirinya sendiri.

"Gue sih yakin ada sesuatu yang terjadi antara Fahmi sama Kiki sebelumnya, tapi gue nggak tahu persisnya."

Bangkit hanya mengedikkan bahunya dan melanjutkan makan.

Setelah selesai menyantap makanannya, Ken dan Bangkit kembali ke ruangan Kiki.

Bangkit memutuskan untuk pamit, mungkin lain kali dia akan menjenguk Kiki.

"Om, Tante, saya permisi dulu, ya. Dari tadi belum pulang, soalnya."

"Hm. Hati-hati." Jawab Keenan.

"Hati-hati ya, Bangkit. Terimakasih ya udah bawa Kiki ke sini."

"Iya Tante, nanti Bangkit ke sini lagi, jengukin Kiki."

"Iya, makasih, ya."

Bangkit mencium tangan Keenan dan Amira.

"Bang, gue balik ya."

"Hati-hati, lo! Mampir sini lagi."

Ken dan Bangkit ber-high five.

K E E Y A R A [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang