HARI itu Lauren menangis seharian dikamar, disuruh makan tidak mau, disuruh mandi gak mau, disuruh cabut rumput juga gak mau (ya iyalah, elah-, )
Lelah Mama dan Papa membujuknya, ia malah makin menenggelamkan diri didalam selimut.
"Pokoknya Lauren mau ke Ocarina! Lauren mau main wahana, ini kan udah hari terakhir liburan! Papa Mama udah janji!" Bentaknya. Dan kembali ia menyembunyikan kepalanya didalam selimut.
"Lauren, kamu tuh udah SMP! Udah gede! Tuh lihat, Andra aja ngerti hari ini Papa mendadak ada kerjaan. Masa kamu gak bisa ngerti?"
Mama yang berada disamping Papa hanya mengusap punggung Papa, "Udah, Pa. Jangan galak gitu ke anak. Kita juga salah udah janji."
"Kalo kita salah, kenapa Andra bisa ngerti? Kamu lihat, ini didikan kamu. Semua yang ia mau kamu turuti. Andra bahkan masih SD, dia sudah bisa bersikap dewasa. Terserah kamu lah, Ma. Saya capek." Papa pergi sambil membanting pintu dengan keras.
Mama hanya bisa menghela napas. Meski ia diam, ia mengakui kebenaran kata suaminya itu. Lauren anak manja sejak kecil, begitu adiknya lahir, ia cemburu karena perhatian untuknya terbagi dua.
Karena merasa ia anak sulung, ia selalu memaksakan kehendak. Ditambah hasutan temannya, "Kamu kan anak sulung, harapan orangtua. Pasti apa yang kamu mau dituruti."
Benar saja, cukup lah ia mengambek dan tidak mau pergi sekolah, maka tas baru atau sepatu baru akan bertengger dikamarnya beberapa jam kemudian.
Untuk kedekatan, Mama lebih dekat dengan Lauren, Papa lebih bangga dengan Andra yang mandiri. Selalu mengerti jika disuruh menunggu.
Meski begitu, Andra tidak pernah iri, maka itu hubungannya dengan Lauren juga baik-baik saja. Gadis kecil itu pikir, "Kalo Papa Mama lebih sering beliin hadiah buat Kak Lauren, toh itu kan kakaknya. Esoknya juga kalau Kak Lauren sudah tidak suka lagi dengan barangnya, itu juga buat dirinya."
Lauren juga berbaik hati membagi dua hadiah itu jika ia mendapat lebih dari satu. Pokoknya tidak ada alasan untuk acara iri-iri segala.
Sampai sore itu, Mama mendekati Andra yang sedang duduk dipinggir kolam renang sambil membaca komik. Papa sudah pergi ke bandara sejak tadi. Lauren masih dikamar nangis dibawah bantal. Bahkan saat Papa baik-baik ingin pamit dan menciumnya, Lauren menolak.
"Kamu marah sama Mama, nak?" tanya Mama pelan.
Andra mendongak, menatap Mama yang berdiri, "Enggak kok. Andra ngerti. Papa kan ada kerjaan."
Mama tersenyum lembut, diam-diam ia bangga kepada Andra, "Tapi kalo kamu mau pergi, kita bisa pergi sekarang. Kakakmu ngambek. Kalo besok dia gamau sekolah repot juga, nak."
Andra tersenyum pahit, selalu begitu, selalu kata-kata itu, "Ntar kakakmu begini, ntar kakakmu begitu."
Biasanya Andra dengan senang hati mau ikut, meski ia tidak ribut seperti Lauren, sedikit banyak ia juga kecewa karena Papa membatalkan janjinya.
Namun hari ini Andra lelah, karena biasanya jika dia ikut, dia cuma ngikut kemana Lauren mau pergi. Kalo bersama Papa, semua sama rata. Mereka akan pergi ke empat macam tempat, sesuai kemauan mereka berempat masing-masing.
"Enggak, Andra dirumah aja. Kalo Mama mau pergi, ajak aja Kak Lauren. Nanti Andra kan ada Kak Diah, gabakal sendirian dirumah." Tolaknya halus. Kak Diah adalah pembantu panggilan dirumah mereka. Tidak menginap, tapi ia datang kerumah 3 kali sehari. Pagi, siang, dan malam. Untuk membersihkan rumah di awal dan diakhir hari.
"Yakin?" tanya Mama memastikan. Andra mengangguk.
"Nanti pulang Mama bawain J'Co ya. Anak Mama pinter." Mama mengelus rambut Andra, dan mencium kening Andra lembut. Aneh, Mama memeluk Andra eraaaattt sekali.
"Maafin Mama, kalau Mama selama ini gak adil sama kalian. Tapi Mama sayang kalian semua, Mama sayang Andra juga."
Kening Andra sampai berkerut-kerut mendengar Mama. Mau pergi jalan doang kok ampe minta maaf?
Hari itu, Andra melihat Mama pergi memakai kerudung putih bersih kesayangannya, hadiah pernikahan dari Mbah. Andra merasa mungkin Mama hanya ingin tampil lebih cantik. Yaa, meskipun bagi Andra, Mama selalu cantik setiap harinya.
Sampai suara mobil yang keluar dari halaman rumah terdengar, hati Andra berdesir. Bukan rasa kecewa, tapi seperti perasaan akan ditinggal pergi.
***
Naja merutuk berulang kali, hingga membuat Papa dan Mama kompak ngakak barengan.
"Maafin Mama deh ya, Mama gatau ukuran kaki kamu makin gede. Besok deh ya, Mama tuker lagi?" Mama masih menahan senyum, Naja makin keki.
"Iya deh iya. Besok Naja pake sepatu lama aja dulu."Naja menyimpan kotak sepatu itu di bagian atas rak sepatu.
"Naja, mereknya jangan dicabut. Ntar gamau tuker loh orangnya." Peringat Nasha. Nasha yang kala itu sudah kelas 3 SMP sedang sibuk menyiapkan beberapa alat berupa kartu-kartu tanda pengenal, karena dia pengurus OSIS.
Sepatunya dan sepatu Narya sudah beres. Biasanya memang begitu, mereka bertiga bakal ditinggalin dirumah, terus Papa dan Mama yang beli perlengkapan sekolah per semesternya.
Mereka kembali dengan aktifitas masing-masing. Sampai Nasha inget sesuatu, tepat saat mereka lagi santai di tepi kolam ikan.
"Pa, kita harus tuker sepatu Naja sekarang juga. Dia ga boleh pake sepatu lamanya. Sekolah ga izinin pake sepatu selain warna hitam polos."
Serentak Papa dan Mama melihat kearah atap gazebo, kearah sepatu lama Naja yang lagi dijemur, bercorak hitam-pink-putih.
"Besok dia bakal dihukum. Sekolah ga ngasi kelonggaran sama murid baru." Lanjut Nasha.
Sementara yang dikhawatirin malah santai ngelahap ayam goreng. Sambil menyandar di gazebo.
"Gimana dong, Pa?" tanya Mama. Papa menghela napas. "Yaudah deh. Sekarang Papa pergi nih. Naja, kamu ikut Papa. Kita ukur ampe bener-bener pas. Ganti baju sana."
Narya yang lagi ngobok-ngobok kolam menyambar, "Pa biar Narya aja yang ikut, Pa!"
"Gak boleh! Kamu tadi udah main PS seharian." Narya memandang Mama, "Apa hubungannya, Ma?"
Mama berpikir sejenak, "Pokoknya ga boleh!"
"Iya bentar, Pa." Naja membersihkan sisa daging dari tulang ayam yang ia makan sampai benar-benar licin. Kemudian dengan sengaja ia melempar tulang ayam itu ke kepala Narya sebelum akhirnya melarikan diri.
"NAJAAAA!" Teriak Narya.
***
Penciptaan, kelahiran, jodoh, kehidupan, bahkan maut adalah rahasia-Nya.
Tidak ada yang tahu, apakah beberapa detik kemudian kita masih diberi-Nya kesempatan hidup atau tidak. Kita bahkan tidak tahu, apakah masih bisa melihat mentari kala esok hari.
Bahkan kita tidak tahu, apakah malam ini terakhir kali kita tertawa bersama seseorang. Tidak ada yang tahu.
Yosalex, Lauren dan Andra.
Rosiani, Nasha, Naja dan Narya.
Hari itu, mereka kehilangan separuh sayap dan jiwa mereka.
Tak ada yang menyangka, jika mentari terbit hari itu adalah yang terakhir untuk orang yang mereka sayangi.
BERSAMBUNG...
***
-VHANIA-
Published on October 1st, 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Me & Fat Burner
ChickLitIni kisah Naja yang berdiri diantara orang sempurna. Kakaknya yang perfect dan bekerja sebagai model, adik laki-lakinya yang tampan dan cool sebagai pemain basket kawakan. Masalah Naja hanya satu, ia gendut. Kelebihan berat badan. Dan membuatnya keb...