Satu bulan sebelumnya,
"Ayolah Imel.. Kamu tidak akan rugi kok.. Lagian kamu nge-kost juga di Bogor. Mainlah sekali-kali ke rumahku..?" suara Nandini terdengar lembut ditelinga Imelda. Ia sering dipanggil Imel oleh sepupu jauhnya ini.
"Iya teteh.. Harap maklum saja. Saya mah mengajar dari pagi sampe sore. Di playgroup, di sekolah dasar, ke tempat kursus musik.. Cara guru swasta yang mengambil job sana sini.." jawab Imelda dengan rasa sayang.
"Hmm.. Setidaknya datanglah jika kami mengundang untuk acara di hari Minggu ya..? Kami suka berkumpul untuk membahas sesuatu, entah makanan, anak-anak, pakaian, dll.." lanjut Nandini berusaha membujuk sepupu jauhnya ini.
Mendengarkan kata anak-anak, hati Imelda tersentak. Ia suka sekali anak-anak. Ia sampai mempelajari musik khusus anak-anak biar bisa mengajar di playgroup dan terlibat langsung dengan anak-anak disana.
"Imel..?" panggil Nandini.
"Ehh.. Iya teteh.. Maaf.. Agak melamun.." balas Imel dengan mata menerawang.
Terdengar tarikan napas panjang dari Nandini. Wanita ini lalu bergosip tentang Eman yang sudah mulai berlari sedangkan Hafis tumbuh menjadi anak lelaki seperti pelindung bagi Eman.
Imelda mendengarkan sepupunya dengan sepenuh hati, ia tahu hidup Nandini sekarang lebih baik bahkan sangat baik semenjak menikah dengan Emran. Pelukis yang pernah dirawat oleh sepupunya itu walaupun Nandini seorang bidan bukanlah perawat.
"Baiklah.. Itu suara Eman sudah terdengar dari sini sudah bangun.. Dan, waktunya ini mandi sore.. Bye Imel.. Jangan lupa untuk mampir jika kamu tidak terlalu sibuk mengajar..?" pinta Nandini sekali lagi pada Imelda.
"Iya teteh.. Nanti saya mampir.." balas Imel lembut lalu memutuskan sambungan teleponnya dengan Nandini.
Imelda menghela napas panjang lagi. Ia sebenarnya sedih ketika mendengar orang-orang mulai membicarakan pernikahan dan anak. Ia juga iri dengan hal itu. Ia hanya punya satu saudara laki-laki. Dan, itu pun tidak terlalu dekat dengan sang kakak yang sekarang sibuk bersama sang istri dirumah mereka sendiri. Ia hanya memiliki ibu. Ayahnya sudah meninggal karena memang mengalami kecelakaan motor sewaktu dirinya dan sang ayah mau pulang ke rumah. Yah, ia dibonceng ayahnya sewaktu pulang dari kuliah musik. Hal itu sangat memukul jiwanya. Ia juga sampai harus dioperasi dibagian perut lantaran ada perutnya tertusuk dahan pohon yang tumbang mengenai motor ayahnya.
Imelda mengusap perutnya tanpa sadar dimana terdapat bekas operasi.
"Hmm.. Ini sudah suratan takdir. Tidak bisa dihindari. Mobil itu juga agaknya tidak sengaja untuk menabrak pohon itu sehingga ada dahan yang rapuh jatuh menghantam motor ayahnya.
Imelda berusaha mengingat percakapan dengan lelaki yang menabrak pohon tersebut.
"Maafkan aku.. Aku tergelincir dan menabrak pohon itu. Aku tidak tahu juga kalau dahan itu bisa jatuh mengenai kalian..?" sang lelaki berwajah lumayan tampan menurut versi Imelda itu menjelaskan perihal mobilnya yang tergelincir. Posisi mobil lelaki itu berada di atas belokan sedangkan motor yang agak berada dibawah belokan mendapatkan nasib tidak baik. Keluarga Imelda tidak memperpanjang urusan kecelakaan itu. Mereka tidak ingin sang ayah malah tidak tenang dialam sana.
"Ini sudah suratan takdir.." jawab Imelda kala itu pada lelaki yang mengunjungi rumah mereka di Bekasi setelah dirinya selesai operasi. Biaya operasi itu menjadi tanggungan lelaki tersebut.
Sang lelaki mengamati Imelda dengan raut penasaran dan simpati. Lelaki ini terlihat merasa bersalah atas tindakan cerobohnya menyebabkan kematian pada orang lain. Lelaki ini sedang buru-buru untuk menemui sepupunya di hotel. Ada urusan bisnis.
Suara bel tanda pergantian pelajaran mengejutkan Imelda yang duduk termanggu sejenak itu. Ia memperhatikan sekeliling kantor dimana para guru sudah beranjak dari kursi untuk mengajar anak murid mereka. Imelda mengecek silabus miliknya. Ia hari ini akan mengajarkan cara membaca not balok bagi pemula. Pelajaran yang sangat ia sukai.
"Bu Imelda.. Saya duluan ya.. ?" bu Sinta mengepit buku tebal didadanya seraya melambai ke arah Imelda.
"Ehh.. Iya bu Sinta.. Semangat ya..?!" balas Imelda dengan ceria. Ia tahu bu Sinta mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris yang terkadang jadi momok menakutkan selain pelajaran Matematika bagi para siswa.
"Iya.. Fight.. Fight..!" bu Sinta mengacungkan tangannya penuh semangat.
Imelda tersenyum melihat kelakuan ibu guru muda itu. Bu Sinta berusia sekitar 33 tahun. Cantik dan agak terlihat serius jika sudah mengajar didepan kelas.
Para guru lain ada yang masuk karena pergantian jam pelajaran. Imelda membereskan buku diatas meja miliknya yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Well, ia sendiri mempunyai ruangan musik untuk mengajar jadi tidak masalah dengan meja guru kecil yang penting bahan pembelajaran darinya lengkap dan mudah dipahami murid-murid.
Imelda melangkah ke arah pintu luat kantor menuju ruangan musik dimana ia akan mentransfer ilmu yang ia dapatkan untuk murid-murid terkasih. Ia berjalan sembari tersenyum, seolah bisa membayangkan murid-muridnya bersorak senang karena akan menyanyi dan bermain musik.
****
Awww.. Music speaks when words can't...🎷🎺🎵🎸🎻🎹🎼🎶...
Tetap semangat ya bu guru.. We always wait for you...
****

KAMU SEDANG MEMBACA
PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}
RomanceTio Suwandi, 29 tahun, seorang duda anak satu. Selalu sibuk dengan urusan bisnis laundry dan tentu saja mengurus anaknya. Ia tidak peduli dengan urusan cinta lagi karena hatinya sudah mati bersama kepergian sang istri yang tiada. Imelda Marli, 24 ta...