"Terima kasih banyak ya bu Imel..?" pak Aryan duduk santai di depan teras rumah kost Imelda seraya minum teh. Mereka sudah pulang dari cafe satu jam yang lalu. Makan siang yang sungguh 'mengesankan'. Mulai dari rengekan sang balita minta suapi guru musik ini sampai tatapan tajam sang lelaki berwajah masam padanya. Selebihnya, ia bisa menghadapi itu semua dengan adanya dokter Benny yang mau melibatkan dirinya dalam pembicaraan sederhana seperti bagaimana mengajar anak sekolah yang rata-rata aktif untuk bergerak. Maka, ia bisa melalui makan siang itu dengan senang walaupun tak sesenang jika mereka makan hanya berdua saja.
"Sama-sama pak Aryan.. Maaf jika makan siang tadi agak 'ramai'..." ucap Imelda dengan pipi terasa panas. Ia merasa malu karena Tio selalu memperhatikan dirinya ketika menyuapi Intan. Ia ingin sekali menjitak kepala lelaki itu karena tanpa sengaja juga menendang kakinya dibawah meja untuk memperhatikan anaknya saja bukan ke arah lelaki tampan yang duduk disebelahnya.
"Hmm.. Aku masih ingin disini.. Boleh ya bu Imel.. Angin sore ini sangat sejuk...?" ucap pak Aryan seraya memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus lembut.
"Hmm.. Iya.. Tidak apa-apa... " balas Imelda. Wanita ini mengamati lelaki yang duduk disebelahnya, mereka hanya terpisah oleh meja bundar tempat minuman diletakkan. Imelda tersenyum. Ia tahu kalau pak Aryan mengirimkan sinyal-sinyal suka padanya. Ia bukan wanita yang ke GR an. Tapi, ia bisa melihat hal itu. Masalahnya, jantungnya tidak berdebar terlalu kencang jika berduaan saja dengan lelaki ini, tidak seperti ketika ia berdekatan dengan lelaki berwajah masam itu pikir Imelda menggelengkan kepalanya karena sudah kembali memikirkan ayahnya Intan. Ia merasa perutnya mulai terasa panas karena sepasang mata tajam menatap wajahnya, ia juga merasa sesuatu mengembang dibawah lehernya. Tebak saja apa itu, dan terasa sangat menyenangkan. Giginya menggigit bibir bawah tanpa ia sadari sampai suara pak Aryan memanggil-mangggil seolah dari dunia lain.
"Bu Imelda.. Bu.. Hei.. Apakah kamu tertidur..?" suara pak Aryan setengah geli dan setengah penasaran melihat Imelda yang menutup mata seraya menggigit bibir bawahnya dengan seksi.
Imelda tentu saja tersentak dan membuka matanya. Rupanya ia terpejam seraya membayangkan lelaki berwajah masam. Sial*n! rutuk Imelda dalam hati.
"Eh.. Maaf.. Saya..." tentu saja Imelda jadi gagap. Ia membayangkan lelaki lain, disaat duduk bersama seorang lelaki tampan yang mungkin tidak akan disia-siakan oleh sebagian wanita.
"Hmm... Tidak masalah sih.. Apa kamu tertidur seraya memikirkan aku..?" satu alis pak Aryan terangkat main-main membuat Imelda mendengus tertawa, pak Aryan tidak tersinggung. Lelaki ini ikutan tertawa. Keduanya menarik napas berbarengan.
"Maaf..?" ujar Imelda sekali lagi dengan suara terengah lantaran habis tertawa.
"Tidak apa-apa.. Hmm.. Aku harus pulang.. Ini sudah sore. Kamu mungkin mau istirahat..?" pak Aryan berdiri dari posisi duduknya dikursi. Imelda juga ikutan berdiri. "Terima kasih.." lelaki ini mengulurkan tangannya ke arah Imelda untuk berjabat tangan.
Imelda menggengam tangan kuat pak Aryan. Guru olahraga ini terlihat sangat baik. Imelda sangat beruntung karena lelaki ini tidak mempermasalahkan makan siang mereka yang tidak seperti mereka harapkan.
"Iya.. Sama-sama pak Aryan.." balas Imelda dengan senyum hangat.
Guru olahraga ini lalu permisi untuk pulang ke rumahnya sendiri. Well, tepatnya ke rumah kost yang ia tempati sekarang. Ia memang tidak tinggal dengan orang tua. Kedua orang tuanya hidup bahagia dimasa tua mereka di kampung.
Imelda melambaikan tangannya ke arah pak Aryan yang sudah menghidupkan klakson tanda permisi. Wanita ini lalu membalikkan tubuhnya tanpa menyadari ada bu Kiki yang merasa seperti kepanasan didalam mobilnya mengamati dari jarak pandang aman kalau lelaki yang diincarnya baru pulang dari rumah kost sang guru musik.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}
RomansaTio Suwandi, 29 tahun, seorang duda anak satu. Selalu sibuk dengan urusan bisnis laundry dan tentu saja mengurus anaknya. Ia tidak peduli dengan urusan cinta lagi karena hatinya sudah mati bersama kepergian sang istri yang tiada. Imelda Marli, 24 ta...