8

1.6K 112 10
                                    

Dalam waktu satu Minggu, Imelda merasa sangat bersalah karena menolak permintaan dari Tio dengan sedikit kasar.

"Kenapa saya bersikap seperti ini.. Apa ini ketakutan yang tidak beralasan..? Akang Tio memang terlihat seperti lelaki dengan sikap mengerikan. Tapi, lelaki ini lembut dengan Intan. Anak imut ini.." Imelda tanpa sadar meraba perutnya yang rata.

Imelda menarik napas panjang. Ia menatap plafon dikamar tidur sempit miliknya ini. Baru mau memejamkan matanya karena ini hari Minggu terdengar gedoran didepan pintu. Ia mau tidur siang saja tidak bisa rutuknya dalam hati. Gedoran semakin kuat seolah ingin menghacurkan pintu kost.

"Iya.. iya.. ! Sebentar..!"

Imelda berderap ke arah pintu, mengintip dari balik jendela kaca. Ada ketua RT setempat.

"Ada apa ini?" gumam Imelda agak bingung.

"Teteh Imelda..?!" panggil ketua RT.

"Iya pak.. Sebentar.." Imelda menarik napas dan membuka pintu yang terkunci.

Tampak ketua RT dengan raut wajah gusar menatap Imelda. Lalu, ada seorang lelaki yang Imelda ingat sebagai lelaki pemabuk tapi sekarang tidak mabuk. Lelaki ini terlihat imut tapi juga penuh tipi daya.

"Ya pak Rt.. Ada apa..?" tanya Imelda agak gugup karena lelaki pemabuk ifu mengamati dirinya dengan lekat.

Pak RT yang bernama Salim ini mengamati rumah kost tempat Imelda tinggal.

"Bapak rasa kamu harus pindah dari sini teteh Imel..? Rumah kost ini sudah harus dikosongkan hari ini juga.." ucap pak Salim dengan berat hati.

Imelda melotot, lalu memucat. Ia masih berdiri diambang pintu mencoba untuk menenangkan diri.

"Apa maksud perkataan anda ini pak?" tanya Imelda dengan tubuh bersandar lemas dipinggiran pintu.

"Yah.. Kamu sudah dengar kan, rumah ini harus di kosongkan karena aku mau tinggal disini. Ibuku bilang, aku bisa tinggal dimanapun yang aku suka. Ini rumah kost milik ibuku.. " suara lelaki disebelah pak Salim terdengar muak.

Imelda menatap keduanya dengan gantian. Pak Salim terlihat tidak enak hati. Namun, tidak bisa berbuat banyak.

"Tapi.. Tapi.. Saya...?"

"Maaf teteh Imel.. Ini sudah keputusan ibunya Febri.." pak Salim menoleh ke arah Febri yang menyeringai kejam.

Imelda menelan ludah dengan gugup. Bagaimana ini? Ia belum prepare untuk mencari tempat tinggal. Dimana saya harus menginap?

"Teteh Imel.. Febri bisa menunggu sampai sore. Kamu sebaiknya berkemas mulai dari sekarang. Iya kan Febri..?" pak Salim meminta pengertian dari lelaki muda disampingnya itu.

Febri menghela napas dramatis. "Baiklah.. Aku berbaik hati menunggi sampai sore.."

Pak Salim menarik napas lega. Ia tidak tega melihat wanita cantik di ambang pintu ini diperlakukan tidak adil. Namun, ia senang karena Imelda bisa pergi dari lingkungan yang tidak begitu kondusif bagi wanita yang tinggal sendirian ini. Ia tahu karena daerah yang ia tangani ini rawan kejahatan. Pak Salim sangat paham.

"Baiklah.. Saya akan prepare dulu.." jawab Imelda dengan suara menahan rasa tidak mampu berbuat apa-apa.

Febri menatap tajam ke arah Imelda yang pucat. Lelaki ini terlihat puas. Ia pernah dihajar oleh lelaki yang waktu itu ada disini.

"Well, segeralah berkemas. Aku akan datang sore nanti.. Bawa semua barang kamu. Jangan sampai ada yang ketinggalan." desis Febri lalu memutar tubuhnya. "Ayo pak Salim kita pergi.." ajak Febri pada ketua RT yang tidak mampu berbuat banyak karena memang rumah kostan ini milik ibunya. Ia mau tinggal disini. Biarkan wanita ini pergi, itu sudah setimpal dengan balasan akibat dirinya dipukul waktu itu.

PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang