Imelda dan Tio segera melakukan perjalanan pulang ke Bogor setelah mengusir Fikri dari rumah ibunya Imelda. Lelaki ini hanya mendapatkan peringatan awal dari kepolisian setempat karena pengacara Fikri mengeluarkan jurus 'perdamaian'. Tio mau memperpanjang kasus ini tapi Imelda menyarankan untuk tidak mengubriskan Fikri dan mereka pulang saja ke Bogor.
Imelda menarik napas panjang setelah mobil sampai dirumah mereka di Bogor. Berkas yang ia bawa dari rumah ibunya sudah ada didalam tasnya. Ia mengusap perutnya yang terasa menebal karena pertumbuhan janin. "Sehat-sehat terus ya nak...?" gumamnya lembut.
"Ndah...?" panggil Intan pada Imelda. Kedua tangannya direntangkan minta gendong.
"Ehh.. Iya nak.. ?" Imelda mengeluarkan Intan dari kursi khususnya.
Tio keluar dari pintu kemudi, membuka pintu penumpang dan membantu Imelda untuk mengendong Intan.
"Sini Intan sama ayah ya..?" Tio langsung membopong Intan.
Imelda beringsut untuk turun, ia memegangi tasnya yang berisi berkas penting perihal 'kejujuran' dirinya mengenai kesehatan rahimnya ini.
"Ayo Imel.. Jangan melamun..? Nanti jatuh..?" suara Tio terdengar agak ketus. Lelaki ini memang masih kesal karena urusan Fikri lewat begitu saja.
"Iya.. Maaf.. " Imelda berjalan masuk ke rumah. Ia paham kalau Tio kesal karena Fikri dibiarkan begitu saja. Ia memang tidak mau berurusan dengan Fikri lebih lama. Cukuplah keterikatan mereka sampai disini saja.
Keluarga kecil ini masuk ke rumah dengan ketegangan yang menguar dari kedua orang dewasa tersebut.
"Kang.. Sini Intan saya bersihkan dulu..?" ucap Imelda ketika Tio bermaksud membawa Intan ke kamar tidur sang bocah.
"Aku bisa mengurusnya.. Kamu saja yang membersihkan diri..?" ujar Tio tanpa menoleh ke arah Imelda. Lalu, masuk ke kamar Intan meninggalkan Imelda yang termanggu ditempat.
Imelda menatap pintu kamar Intan yang terbuka. Tapi, sikap suaminya tidak bersahabat. Ia menarik napas berat. Membelokkan tubuhnya ke arah kamar tidurnya sendiri untuk membersihkan diri seperti kata sang suami.
"Yang sabar Imel.." gumamnya pada diri sendiri.
****
Fikri mengamuk dirumahnya. Ia melempar gelas ke arah dinding kamarnya.
"Awas kamu Tio.. Imelda itu milikku.. Surat keterangan yang sebenarnya dari dokter perihal kesehatan rahim Imel sudah aku akali supaya Imel tetap dekat denganku.. Dia tidak bisa menjadi milik orang lain. Jika tidak denganku, maka Imelda tidak untuk siapa-siapa..!" desis Fikri dengan sepasang mata seperti orang yang sudah terobsesi pada seseorang.
Fikri menyeringai sinis. Ia tahu pasti kalau Imelda merasa tidak bisa punya anak karena surat keterangan yang ada pada wanita itu.
"Jika Imelda sampai hamil. Aku rasa, Tio pasti ragu kan..? Nah.. Rencanaku kali ini pasti berhasil.."
Mengamati wajahnya sendiri yang terpantul dari cermin. Fikri meringis sedikit karena bekas pukulan kuat dari Tio membuat wajahnya sudah membiru.
"Hmm.. Nanti keluarga kecil kalian yang akan mengharu biru.. Tunggu saja sebentar lagi.." setelah berkata seperti itu, Fikri keluar dari kamar tidurnya dan berteriak memanggil asisten rumah tangganya untuk membersihkan pecahan gelas yang berserakan dilantai.
***
Satu minggu sudah berlalu. Suasana tegang antara Tio dan Imelda masih belum kendur. Imelda sudah mencoba mendekati suaminya, mengajak mengobrol bahkan ia sengaja berbusana tidur paling menarik perhatian lelaki itu tapi tidak membuahkan hasil. Ia malah tertidur dengan tubuh menggigil karena bahan sutra tipis dan lembut pada gaun tidurnya tidak bisa menahan rasa dingin lantaran AC disetel lebih dingin kali ini oleh suaminya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}
RomanceTio Suwandi, 29 tahun, seorang duda anak satu. Selalu sibuk dengan urusan bisnis laundry dan tentu saja mengurus anaknya. Ia tidak peduli dengan urusan cinta lagi karena hatinya sudah mati bersama kepergian sang istri yang tiada. Imelda Marli, 24 ta...