53

2.2K 102 47
                                    

Fikri menarik-narik rambutnya dengan gemas. Lelaki ini berusaha menenangkan Intan yang menangis karena ingin pulang dan bertemu dengan ibu serta ayahnya.

"Diam...?!!" seru Fikri dengan raut wajah marah. Intan malah tambah sesegukan.

"Mau ketemu Nda..? Ayah...?" ratap sang balita pada Fikri.

Suara ketukan dipintu yang terdengar mendesak membuat Fikri sedikit terkejut. Lelaki ini lalu mendekati pintu, "Siapa...?" tanya Fikri waspada.

"Ini aku kang...? Temi...?" suara Temi terdengar gugup.

Fikri menarik napas lega. Dengan sentakan kuat, ia membuka pintu. "Kenapa lama sekali datangnya. Lihatlah.. Anak ini sudah menangis.. Urus dia..!!" tukas Fikri kesal.

Temi menatap Intan yang duduk ketakutan dengan pipi bersimbah air mata. Hati Temi berdenyut kasian. Kenapa pula Fikri harus melibatkan anak kecil seperti Intan batin Temi takut kalau sepupunya ini melakukan hal yang berlebihan pada Intan. Ia mendekati Intan dan matanya memeriksa wajah dan tubuh Intan dengan seksama. Untung tidak ada tindak kekerasan pad balita ini pikir Temi sedikit lega.

"Shhh.. Intan ikut auntie ya.." bisik Temi menenangkan Intan. Benaknya berpikir cepat, bagaimana ia harus membawa Intan kabur dari sekapan Fikri ini. Ia tidak mau terlibat lebih jauh dengan tindakan bodoh sepupunya ini. Ia ingin berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Urusan ia dulu iri dengan Imelda karena ingin mendapatkan pak Aryan, sekarang tidak ia pedulikan lagi karena pak Aryan sudah benar-benar menyukai dirinya apa adanya. Ia berubah secara perlahan untuk lelaki tersebut, ia tidak mau menjadi wanita egois, iri dan jahat pada orang lain. Ia tadi sempat mengirim pesan pada ayahnya untuk segera mencari dirinya jika dalam waktu satu jam sejak pesan ia kirim kepada sang ayah.

"Mau Nda...?" rengek Intan pada Temi. Temi mengangkat Intan ke pangkuan pahanya.

"Tenanglah sayang.. Nanti auntie bawa Intan pada bunda Imel ya..?" bisik Temi ditelinga Intan sembari mengusap punggung balita tersebut. Ia melirik ke arah Fikri yang mondar-mandir didekat pintu kamar tidur. Ruangan ini adalah bagian dari rumah kosong yang disewa Fikri untuk tempat tinggal lelaki tersebut.

"Nah.. Akhirnya tenang juga anak rewel ini.. Cepatlah kamu buatkan minum untuk bocah ini.. Semuanya ada didapur.." suara Fikri terdengar dingin, sepasang mata lelaki ini terlihat mengancam Temi jika wanita ini tidak mau menuruti perintahnya.

"Iya kang.. Ayo nak.. Kita ke dapur.." Temi mengangkat Intan dengan cepat. Fikri membukakan pintu lalu mengikuti keduanya ke dapur.

Fikri mengawasi Temi yang mendudukkan Intan dikursi dapur. Lelaki ini merasa ada yang sedikit aneh dengan prilaku Temi.

"Mana handphone kamu Tem..?" tanya Fikri tiba-tiba.

"Eh.. Handphone..? Tidak bawa kang.. " jawab Temi cepat. "Akang sendiri tadi bilang kalau handphone harus ditinggal dirumah.." lanjutnya.

Fikri mengernyit, kalau handphone Temi ditinggal apakah nanti ada merasa curiga kalau Temi tidak bisa dihubungi? Ini ada yang salah. Ia salah. Kenapa ia menyuruh Temi meninggalkan handphone dirumah. Ia harus bergerak cepat.

"Apakah kamu menghubungi seseorang atau paman?" tanya Fikri sembari mendekati Temi yang sedang mengambil cangkir plastik khusus balita untuk diisi dengan air minum.

"Tidak kang.. Kenapa aku harus menghubungi seseorang atau ayah.. Aku kan membantu akang karena Imelda yang sok cantik itu menghalangiku mendapatkan pak Aryan.." ucap Temi dengan sedikit terbata karena sesungguhnya ia tidak ada masalah lagi dengan Imelda.

"Nda Imel..?" celetuk Intan pada keduanya.

"DIAM..?!!" seru Fikri pada Intan. Balita ini terdiam kaku karena bentakan Fikri.

PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang