7

1.8K 107 12
                                    

"Kacau...!! Kacau..!!" seru Tio pada dirinya sendiri setelah sampai diruko dan ada dikamar tidurnya sendiri. Ia membuka bajunya merasa gerah. Keringat mengalir didadanya yang bidang. Ia mengamati dirinya sendiri di kaca.

Dengan geram, Tio menurunkan panjang hitam dasar miliknya. Mendengus ketika tubuhnya mengeras dibalik boxer katun yang ia kenakan.

"Aku rasa kamu butuh waktu yang lama sekali untuk mengeras.. Kita sudah puasa selama 1,5 tahun. Aku rasa hari ini bisa meringankan bebanmu sedikit..?"

Tio masuk ke bilik shower dengan melepaskan sisa pakaian yang ia gunakan. Dengan tangan mantap, lelaki ini menikmati permainan tangannya sendiri. Harap maklum saja batin Tio dengan mengernyit nikmat. Pikirannya berusaha tertuju pada mendiang istrinya tapi justru banyangan sang guru berkelebat membuay gerakan tangannya tersentak.

"Tidak.. Tidak...?" Tio mendesis berusaha mengenyahkan bayangan wanita yang merusak kendali dirinya ini. Ia lalu mengeram karena ledakan didalam dirinya seketika membuat hatinya hampa. Tio terengah-engah dengan tangan terkepal. Kakinya sedikit goyah.

Tio menunduk menatap kegagahn tubuhnya yang walaupun sudah ia sentuh tadi agaknya merasa kurang. Ia berpikir dirinya memang lelaki berdarah panas. Ia tahu kegiatan pribadinya dengan mendiang sang istri selalu panas dan berlangsung lama. Dengan tangan sedikit kebas, ia menyalakan shower dengan air dingin supaya gejolak tubuhnya mereda.

"Ambil napas panjang Tio.. Yah.. Hembuskan.. Jauhkan teacher cerewet itu dari otakmu yang rumit..." sergah Tio pada dirinya sendiri.

Mengambil busa penggosok tubuh, Tio mulai mandi membersihkan keringat dan debu yang menempel ditubuhnya seraya menginggat percakapan dirinya dengan Imelda siang tadi di restoran cabang milik chef Mario.

"Saya rasa itu bukan ide yang baik.." ucap Imelda seraya memperhatikan raut wajah Tio yang mengeras.

"Aku juga merasa ini ide buruk. Tapi, aku butuh bantuan dari kamu.." ujar Tio dengan suara seperti tidak bersahabat.

"Nah.. Akang sendiri bilang ini ide buruk. Saya tidak ingin terlalu dekat dengan anak-anak. Khususnya anak akang, Intan. Saya memang sangat mencintai anak-anak. Tapi, tidak akan membiarkan anak-anak tersebut lengket padaku.. " tukas Imelda mulai naik darah. Ia mudah sekali naik darah jika berdekatan dengan lelaki dingin didepannya ini.

Tio melotot pada Imelda, ia baru mau menjawab ketika suara renyah seseorang menggagetkan keduanya.

"Ow..Ow..Ow.. Pucuk dicinta ulam pun tiba... Aku rasa kita akan mendapatkan selembar undangan.. Apakah itu terdengar bagus Em..?"

"Aku rasa itu bagus kak.." balas lelaki tampan disamping kakak tirinya ini.

Tio mengertakkan giginya melihat lelaki jahil bin tengil, Syarif menarik kursi disamping Imelda tanpa permisi dan duduk disana. Emran menyeringai, sang pelukis ini juga menarik kursi disamping Tio.

"Nah.. Segerakan saja.. Biar halal dan bisa 'Ehemm.. Ehemmm.. "ucapan Syarif ini membuat Emran terbahak-bahak. Tio melotot. Sedangkan, wajahnya Imelda merah membara.

"Cukup kalian berdua..! Kalau tidak.. " Tio terdengar seolah mengancam.

"Awww.. Takut..." potong Syarif masih jahil. Tio mengeram. Emran menarik napas panjang.

"Sudahlah kak.. Jangan dijahili lagi.." kali ini Emran menenggahi keduanya. Ia tahu kakaknya suka berlebihan kalau menjahili teman-teman. Itu tabiat yang tidak bisa dihilangkan batin Emran.

Syarif menarik napas. Ia memandang wajah Tio yang kesal dan wajah Imelda yang memerah lantaran malu.

"Baiklah.. Maafkan aku.. Aku mungkin terlalu bersemangat bro Tio.. Hmm.. Bu guru Imelda..?" ucap Syarif tenang. Matanya bersinar penasaran karena sepupu Nandini, istrinya Emran ini bersama Tio, lelaki paling dingin selain mantan bosnya, Rendy.

PELAJARAN NADA CINTA {Geng Rempong : 14}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang