Sedari tadi Magika berjalan sendirian, sendiri yang dimaksud disini adalah tidak ada yang berjalan di sebelahnya. Magenta berjalan tepat dibelakangnya. Padahal berulang kali Magika meminta cowok itu untuk berjalan di sebelahnya namun permintaannya tidak digubris sama sekali.
Bukannya mau modus atau apa, kalau jalannya dengan posisi yang seperti ini kan Magika jadi tidak enak hati. Jika.ada orang lain lihat bisa saja kesannya Magenta adalah bodyguard nya kan?
"Gen, kenapa sih lo jalannya dibelakang gue terus?" tanya Magika tanpa menoleh kearah lawan bicaranya sedikitpun.
Ada satu alasan pasti mengapa Magenta memilih berjalan di belakang Magika dibanding berjalan di sebelahnya. Magenta hanya ingin memastikan bahwa Magika aman dari ancaman penyerangan dari arah belakang. Sudah itu saja, tidak ada yang lain.
"Genta ih! Jawab kenapa, punya mulut kan lo?" Kali ini Magika berhenti sambil menghentakkan kakinya di lantai, bibirnya mengerucut, ia kesal karena Magenta enggan menjawab pertanyaanya.
"Kalo gue kasih tahu alasannya, yang ada lo nanti kepedean. Bagus kalau cuma kepedean doang, kalau lo baper? Gue juga kan yang repot pada akhirnya," jawab Magenta santai. Langkah kakinya pun berhenti mengikuti Magika.
Magika menghela napasnya kasar, kemudian tiba-tiba saja sesuatu melintas di kepalanya. Bukankah waktu itu Magenta terlihat biasa saja ketika melihat botol whisky itu ada di belakang sekolah? Dan itu tandanya Magenta pasti tahu sesuatu tentang itu. Bahkan mungkin Magenta juga tahu tentang orang-orang yang terlibat.
"Gen, jujur sama gue ya. Lo tahu tentang siapa aja yang terlibat dengan semua ini?" tanya Magika dengan suara yang mungkin hanya dapat didengar oleh mereka berdua.
Magenta mengangguk pasti sebagai jawaban atas pertanyaan Magika barusan.
"Kalau lo tahu, kenapa lo gak kasih tahu gue?"
Seharusnya Magenta memberi tahu Magika mengenai hal-hal yang ia ketahui, setidaknya itu akan menbantu gadis itu dalam mengungkap fakta-fakta yang ada.
"Gak asyik kalo gue kasih tahu," ucap Magenta.
Jika ia hanya memberi tahu tanpa memberikan bukti yang nyata maka akan percuma juga, orang mana ada yang akan mempercayai Magika. Jadi menurut Magenta lebih baik membiarkan Magika mencari tahu semuanya supaya lebih greget.
Magika cukup terperangah dengan jawaban dari Magenta. Kenapa sih cowok itu justru mempersulit segalanya? Jika saja ia mau memberitahukan dirinya mengenai hal yang ia ketahui, maka semuanya pasti akan lebih mudah. Bahkan mungkin hari ini orang-orang yang terlibat bisa saja sudah ditindaklanjut oleh Pak Eko si guru BK.
"Udah buruan jalan. Keburu sore, gue punya acara soalnya." Magenta memutar balikkan badan Magika lalu mendorong bahu gadis itu pelan.
Magika sebenarnya ingin terjatuh untuk memdramatisir keadaan saat Magenta mendorong bahunya. Namun hari ini ia terlalu tidak mood untuk melakoni adegan drama. Magika akhirnya melanjutkan langkah kakinya menuju area belakang sekolah.
Langkahnya semakin memelan dan juga hati hati ketika ia sudah berada di dekat area tempat ia menemukan botol whisky tersebut. Magika menghentikan langkahnya tepat di depan pintu gudang, gadis itu berbalik. Menatap Magenta untuk meminta pendapat apakah ia harus melangkahkan kakinya lebih lanjut ataukah ia harus putar balik saja. Karena entah kenapa hari ini perasaanya benar-benar tidak enak. Nyali nya yang sebelumnya begitu besar entah kenapa lenyap begitu saja.
"Buruan, ambil video atau gambarnya. Kalau gue gak salah inget hari ini jadwal mereka minum," ucap Magenta.
Magika mengangguk, gadis itu menarik napasnya dalam dalam lalu menghembuskannya kembali. Ia merogoh ponsel yang ia simpan di saku rok abunya. Tangannya gemetar, Magika tidak mengerti kenapa ia segugup ini sekarang.
"Kalau lo gak ingin, kita bisa selesaikan semuanya sekarang." Ucapan Magenta seakan mengerti bahwa Magika saat ini mulai agak ragu dengan tindakannya sendiri.
Magika menggeleng, ia tidak mungkin menyelesaikan apa yang sudah ia mulai ditengah jalan. Apalagi sebentar lagi tujuannya akan tercapai. Magika menguatkan tekadnya, gadis itu kemudian perlahan berjalan mendekat.
Tepat seperti yang Magenta katakan, mereka tengah meminum minuman keras di sana. Magika tidak menyia-nyiakan momen itu. Ia merekamnya melalui kamera ponsel miliknya. Orang-orang yang Magika lihat kemarin masih sama, hanya saja ada tambahan beberapa orang baru yang wajahnya tidak asing di matanya. Rendy si ketua OSIS pun tak luput dari pandangannya.
Magika heran, kenapa dari sekian banyak tempat yang dapat mereka gunakan harus area belakang sekolah? Apa mereka semua tidak takut ketahuan? Terlebih lagi ini masih sore, dimana sekolah belum benar-benar kosong sepenuhnya.
Tak sedikit siswa yang masih berada di sekolah ini untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Dan juga masih ada satpam yang mengitari sekolah untuk memeriksa bahwa setiap ruangan sudah terkunci dengan rapat. Kenapa bisa hal semacam ini tidak terendus sama sekali oleh pihak sekolah?
Apakah mungkin sebenarnya pihak sekolah sudah mengetahuinya namun memilih untuk diam saja? Magika benar-benar tidak mengerti dengan semuanya. Gadis itu kemudian berbalik dan berjalan secara perlahan dan hati-hati, memastikan bahwa ia tidak akan terpeleset kembali seperti waktu itu.
"Udah?" tanya Magenta hanya dengan gestur mulutnya, tanpa suara. Dan Magika hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
🎐🎐🎐
Sore harinya sepulang dari sekolah Magika langsung membersihkan badannya. Hari ini ada jadwal kumpul-kumpul bersama kedua sahabatnya. Yaitu Olla dan juga Dani.
Selagi menunggu kedua orang tersebut datang Magika meraih ponselnya yang ia letakkan diatas kasur. Gadis itu memutar ulang video yang ia ambil tadi untuk memastikan bahwa wajah yang terekam disana itu jelas.
Belum lagi video itu selesai diputar, suara handle pintu terdengar. Magika buru-buru mematikan ponselnya, keberadaan video itu harus hanya ia dan Magenta yang tahu. Dari balik pintu muncul Dani yang datang masih lengkap dengan seragam putih abunya.
"Lo belum pulang ke rumah Dan?" tanya Magika ketika Dani merebahkan dirinya diatas kasur.
"Belum."
"Masalah sama bokap lagi?" tanya Magika hati-hati, dan Dani diam tidak merespon apapun.
Bisa Magika tarik kesimpulan bahwa jawabannya adalah iya. Dani memang sering memiliki masalah dengan orang tuanya, terutama dengan Papanya. Sangat sering Dani menginap dirumah temannya secara bergantian ketika ia sedang enggan pulang ke rumah.
"Masih masalah yang sama? Lo dipaksa untuk pindah ke luar negri?"
Dani mengubah posisinya menjadi duduk, cowok itu menghela napasnya kasar lalu mengangguk.
Magika bergeser mendekat, ia mengusap pundak cowok itu. Mencoba memberinya sedikit ketenangan. Meski tidak pernah mengalami hal semacam itu, Magika tahu rasanya pasti berat ketika terus menerus memiliki konflik dengan orang tua.
"Mungkin bokap lo cuma ingin yang terbaik untuk lo Dan."
"Terbaik? Bokap gue itu cuma ngejar gengsi Gi! Dia nyuruh gue sekolah di luar cuma buat pamer. Dia cuma pengen derajat nya sama dengan temen-temennya!" Beragam emosi tergambar di wajah Dani yang kini mulai memerah. Ada guratan kecewa, ada kemarahan, dan adapula kesedihan yang tergambar disana.
Magika menghela napasnya berat. Jika itu memang benar, ia tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang tua Dani. Mengorbankan waktu kebersamaan dengan anak hanya untuk menuruti gengsi semata, bukankah itu benar-benar kejam sekali?
Entah apa yang Magika lakukan jika ia berada di posisi Dani. Mungkin ia akan pergi dari rumah dan tak akan pernah kembali lagi.
"Kalau lo memang gak setuju, coba deh ngomong sama bokap lo lagi. Dari hati ke hati, jangan bawa emosi. Gue yakin bokap lo pasti bakal ngerti kok."
🎐🎐🎐
KAMU SEDANG MEMBACA
MAGENTA
Teen Fiction#1 FiksiRemaja 16 Agustus 2019 Magenta Ardhiyasa. Pentolan Band The Rythm dengan suara dan tampang yang sama-sama mempesona. Siapa yang tidak mengenalnya? Seisi SMA Andalas mengenalnya, bahkan banyak yang menjadikannya sebagai ikon Pacar idaman. Dib...